Pages

Kamis, 05 November 2015

FIQIH TENTANG HADIAH DAN KORUPSI

Ka’ab berkata : “Suap bisa membuat bodoh orang santun dan membutakan mata orang bijak”
Rabi’ah berkata : “Hadiah merupakan jalan menuju suap dan penyakit yang mendatangkan kegelapan”


Kasus korupsi, suap atau uang pelicin dan nepotisme, KKN, telah menjadi kasus yang serius di negeri kita. Ibarat kanker ganas ia telah menggerogoti seluruh anggota tubuh dan menyebar dalam segala lini kehidupan kita sehingga pemerintah perlu membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan pengadilan tindak pidana korupsi (TIPIKOR), dan hasilnya masih belum memuaskan banyak kalangan. Kejaksaan, kepolisian, lembaga peradilan justru dianggap sarang jual-beli kasus hukum. Bebas atau tidaknya suatu persoalan hukum tergantung tawar-menawar dibelakang layar. Anehnya kitapun sudah biasa memberikan uang pelicin, uang rokok, jika berhadapan dengan aparat, kepolisian, atau birokrasi jika kita ingin urusan lancar, bahkan anggota DPR pun terbiasa menerima uang ini dan itu dari berbagai pihak yang ingin urusan mereka lancar dan mendapat dukungan dari anggota DPR yang sedang membahas rancangan UU tertentu.Agaknya kasus korupsi dan suap kepada para pejabat, birokrat, dan kepada hakim untuk memenangkan perkara sudah menjadi persoalan klasik, sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Bahkan persoalan korupsi sudah ada ketika Rasulallah SAW masih hidup, apalagi pada masa dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah, dan dinasti Mamluk, dimana Ibnu Hajar Al Haitami menulis karyanya yang berjudul “Idhaah Al Ahkam Lima Ya’khuzhuhu Al Úmmal  Wa Al Hukkam”.
Di kalangan Mazhab Syafi’i, nama Ibnu Hajar Al Haitami sangatlah popular, karya-karyanya memiliki otoritas  dan menjadi salah satu rujukan penting mazhab. Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubro, Al Fatawa Al Haditsiah, Tuhfah Al Muhtaj Bi Syarh Al Minhaj, As Shawa`iq Al Muhriqah Fi Ar Radd  ‘Ala Ahl Al Bida’ Wa Az Zanadiqah adalah sederet karya pentingnya  yang menjadi rujukan mazhab di kalangan syafi’iah, lebih-lebih pesantren dan Nahdatul Ulama.
Lahir tahun 909 H dengan nama Syihabuddin Ahmad Bin Muhammad Bin Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ali Ibni Hajar Al Haitami, meski demikian ia lebih popular dengan nama Ibnu Hajar karena kakeknya terkenal sangat pendiam dan jarang berbicara kecuali hal-hal yang sangat mendesak dan karena itulah dikonotasikan dengan batu. Ibnu Hajar lahir dalam keadaan yatim di daerah Salmanat. Oleh karena banyak kekacauan dan fitnah di daerah itu maka kakeknya membawanya pindah ke daerah Al Haitam. Sehingga namanya lebih popular dinisbahkan ke daerah Haitam, salah satu daerah di Mesir. Nisbah ini digunakan untuk membedakan dengan Ibnu Hajar Al Asqolani yang lebih terkenal dengan pakar hadits. Ia banyak belajar kepada para ulama terkenal  di Mesir diantaranya adalah Syaikh Zakaria Al Anshari, pengarang Fath Al Wahabyang terkenal itu. Ia juga berguru pada Muhammad bin Abi Al Hamail, Abdul Haq bin Muhammad As Sinbathi, Abu Bakar Al Masyhadi, Syihabuddin Ahmad Ar Ramli, dan Abu Al Hasan, dll. Dan diantara muridnya yang cukup terkenal adalah Imam Az Zayadi.
Tahun 933 H ia menemani gurunya Syaikh Al Bakri melakukan ibadah haji dan disana ia tinggal selama satu tahun. Tahun 937 H untuk yang kedua kalinya ia juga menemani sang guru melakukan ibadah haji dan pada tahun 940 H, ia bersama sang guru melakukan ibadah haji untuk yang ketiga kalinya. Mulai saat itu ia menghabiskan masa karir ilmiahnya di Makkah, mengajar, berfatwa dan mengarang. Namanya menjulang tinggi sebagai seorang alim yang mendapat kedudukan terhormat di Makkah dan memiliki banyak murid serta menjadi ulama yang memiliki otoritas yang kuat. Meskipun demikian ia tetaplah menjalani hidupnya yang tidak mudah, serba kekurangan bahkan menurut keterangannya sendiri, pernah selama empat tahun ia tidak makan daging karena saking miskinnya. Ia juga bergulat dengan penyakit wasir dan kencing batu yang senantiasa menderanya. Dan pada tahun 947 H, tepatnya hari Senin tanggal 23 Rajab ia berpulang kehadirat ilahi dan dimakamkan di pekuburan Ma’la, Makkah. Hari itu Makkah diselimuti duka yang mendalam, ribuan orang berdesak-desakan untuk dapat menyentuh jenazahnya dan membawanya keperistirahatan terakhirnya.
Menurut Ridha Fathi Muhammad Khalil Al ‘Ibadi, pentahkik kitab ini, karya Ibnu Hajar ini hampir tidak dikenal sebagai salah satu karya Ibnu Hajar yang berjumlah delapan puluh karya ilmiah, baik yang masih berbentuk manuskrip atau yang sudah dicetak. Hal ini dikarenakan para penulis ensiklopedia biografi para ulama dan karya-karya mereka seperti Umar Ridha Kahala, Khairuddin Az Zirikli, Haji Khalifah, dan Al Baghdadi tidak mendaftar kitab ini sebagai karya Ibnu Hajar. Ibnu Hajar sendirilah yang menyebutkan karya ini dalam salah satu kitabnya Tahrir Al Maqal Fi Adabi Wa Ahkam Wa Fawaid Yahtaju Ilaiha Muaddibu Al Athfal. Hlm.61-62
Karya ini dapat hadir dan dibaca publik atas kerja keras sang pentahkik yang secara tekun menelusuri kitab yang menghimpun senarai kitab-kitab dan karya-karya yang menghimpun dan mengkaji karya-karya Ibnu Hajar Al Haitami dan akhirnya ia menemukan naskah manuskrip ini diDar Al Kutub Al Mishriyyah, Maktabah Al Ahqaf di Yaman dan di Perpustakaan Al Azhar.
Karya ini sebetulnya ditulis Ibnu Hajar Al Haitami (909-974 H) sebagai jawaban atas penyataan tertulis yang berasal dari Yaman pada tahun 957 H mengenai persoalan persoalan yang berkaitan dengan hukum hadiah dan suap, lalu ia menulis jawabannya secara ringkas. Untuk membahas secara mendalam persoalan ini ia meneliti berbagai kitab dan diantaranya adalah kitab “Fashl Al Maqal Fi Hadaya Al ‘Ummal  karya Syaikhul Islam , Tajuddin As Subki. Akan tetapi menurut Ibnu Hajar karya ini telalu panjang lebar sehingga sangat sulit untuk dipahami para pelajar  bahkan semua kalangan, karena As Subki tidak melakukan tarjih terhadap banyak persolan bahkan cenderung pada pendapat yang lemah. Oleh karena itu Ibnu Hajar ingin meringkas dan menjelaskannya dengan bahasa yang mudah dipahami bagi semua kalangan yang ada dan melengkapinya dengan banyak persoalan-persoalan yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat.
Karya ini sebagaimana yang dikatakan sendiri oleh Ibnu Hajar merupakan kitab yang tiada duanya dalam persoalan ini. Hlm. 85. Pernyataan ini memang tidak berlebih-lebihan karena di dalam Mazhab Syafi’i, inilah kitab pertama dan secara spesifik, sudah barang tentu asal karya ini, yakni karya As Subki, yang membahas persoalan hadiah, korupsi dan suap yang diterima oleh para pegawai pemerintah. Biasanya persoalan ini dibahas dalam persoalan peradilan dan sewa menyewa dalam karya-karya sebelum Ibnu Hajar Al Haitami. Ada satu hal yang agak aneh, meski  Syaikh Abd Al Ghani An Nabulsi wafat 1143 H telah menyusun satu kitab yang berjudulTahqiq Al Qadhiyah Fi Al Farq Bain Ar Risywah Wa Al Hadiyah, Fiqh Mazhab Hanafi, ia sama sekali tak pernah menyebut  nama dan karya Ibnu Hajar ini ketika membeberkan pendapat mazhab syafi’i dalam kitabnya itu. Hlm. 64
Sebagaimana  dari judulnya kitab ini memang secara khusus mengupas persoalan hukum memberi hadiah kepada para pejabat pemerintahan, para hakim, dan para birokrat.
Pada pasal pertama Ibnu Hajar Al Haitami memulai dengan menukil sejumlah hadits-hadits yang mengharamkan praktek suap dan hadiah kepada para pejabat pemerintah. Paling tidak ada dua belas hadits yang dinukil oleh Ibnu Hajar, diantaranya hadits riwayat At Tirmizhi, Ahmad dan Al Hakim yang berasal dari Abdullah bin Amru berkata: Rasulallah melaknat penyuap dan yang minta suap. Hadiah kepada para pejabat adalah tindakan koruptif. (HR. Ahmad dan Al Bazzar). Penghianat yang paling besar adalah penguasa yang menjadikan rakyatnya sebagai obyek bisnis. (HR. An Nuqqasy dan Abi Nu’aim). Barangsiapa yang kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan lalu kami memberikan gaji kepadanya, maka apa yang ia ambil selain gajinya itu adalah tindakan koruptif (ghulul). (HR. Abu Daud). Hadiah kepada para pejabat adalah tindakan koruptif (ghulul). ( HR. Al Bazzar dan Ahmad ). Hadits-hadits ini diletakkan pada pasal pertama tentunya sebagai basis teologis dan hukum bahwa suap dan hadiah kepada para pejabat adalah tindakan tercela, dilaknat, dan koruptif. Dari hadits-hadits ini pula kita dapat mengatakan bahwa hadiah-hadiah yang diberikan kepada para pejabat, hakim, para pengambil keputusan seperti anggota DPR entah atas nama hadiah tetaplah dianggap sebagai tidakan koruptif karena mereka sudah memperoleh gaji yang sudah ditentukan pemerintah.
Selanjutnya pada pasal kedua Ibnu Hajar Al Haitami menjelaskan bahwa Allah S.W.T telah memerintahkan para “wakil-Nya”, seperti para penguasa dan para hakim untuk menegakkan keadilan tanpa menukarnya dengan imbalan apapun. Jika mereka mengambil dan menerima suap berarti mereka menjadikan suap itu harga dari keadilan. Allah tidak rela jika keadilanNya ditukar dengan harta duniawi dan itu berarti tindakan penghianatan terhadap Allah, para rasulNya, para malaikatNya, dan orang-orang beriman, karena itu keadilan tidak boleh diperdagangkan. Ia laksana air mengalir dan siapapun berhak untuk menikmatinya. Hlm. 114-115.
Adakalanya suap diberikan seseorang kepada seorang hakim agar ia memenangkan perkara yang sebenarnya ia jelas berada di pihak yang salah, namun bisa juga seseorang berada di pihak yang benar memberikan suap untuk memperoleh haknya. Yang pertama jelas haram, sedang untuk yang kedua, hakim yang menerima suaplah yang berdosa sedang yang memberi suap tidak. Hakim yang demikian berarti telah merubah hukum Allah dan menjadikannya sebagai lahan bisnis. Hlm. 117-121.
Mengenai hadiah kepada hakim, Ibnu Hajar berpendapat hal itu boleh saja asalkan orang yang memberikan hadiah itu sudah terbiasa sebelumnya memberikan hadiah kepada sang hakim sebelum dia diangkat menjadi hakim dan dia sedang tidak memiliki sengketa hukum, tidak ada indikasi hadiah itu sebagai permulaan suap, hadiah tidak melebihi dari biasanya. Meskipun hal ini makruh menurut Al Mawardi, menyalahi hal utama, khilaf al aula menurut Ashab Syafi’iah dan yang paling utama adalah tidak menerimanya. Menerima hadiah bisa juga menjadi haram hukumnya menurut ijma` ulama jika yang memberikan hadiah itu sedang memiliki sengketa hukum, meskipun bukan di wilayah kompetensi hakim yang bersangkutan dan sudah terbiasa sebelumnya memberi hadiah kepada sang hakim sebelum ia diangkat menjadi hakim. Hlm. 139-147.
Adapun hadiah yang mengandung subhat sebagai suap atau jelas-jelas sebagai suap, maka seorang hakim harus mengembalikannya kepada pemberi dan tidak boleh memilikinya, apabila barang itu rusak maka ia menjadi hutang yang harus dikembalikan sesuai dengan nilai barang tersebut. Jika ia meninggal sebelum melunasi pengembalian hadiah itu maka diambilkan dari tirkah (warisan). Lalu bagaimana jika pemiliknya tidak diketahui atau tidak ditemukan, menurut imam Ibnu Hajar haruslah dikembalikan kepada Baitul Mal (Kas Negara) karena uang atau barang itu statusnya sama dengan barang hilang. Inilah pendapat yang mu`tamad dalam Mazhab Syafi’i. Hlm. 145.
Jika hadiah atau suap dalam bentuk manfaat dan bukan dalam bentuk uang atau benda, maka menurut  Ibnu Hajar berdasarkan pendapat yang zhahir dalam mazhab statusnya sama dengan benda atau uang. Hlm. 214.
Karya Ibnu Hajar ini kiranya perlu dibaca dan dikaji secara seksama, lebih-lebih kita kalangan pesantren harus turut bertanggungjawab mendidik para santri dan menanamkan nilai-nilai agama sehingga mereka tidak menjadi koruptor serta adil dan amanah dalam jabatan. Pemerantasan korupsi, suap dan sebagainya dimulai dari pendidikan dan disinilah peran pesantren. Dan kitab ini bisa menjadi bahan bacaan wajib mengenai fiqh suap dan korupsi dan di sini pulalah urgensi kitab karya Ibnu Hajar Al Haitami. Meski demikian, dalam kitab ini ada beberapa persoalan yang tidak relevan dengan situasi kontemporer kita. Misalnya hakim yang mengambil upah dari pihak-pihak yang bersengketa. Hal ini karena di zaman dahulu memang ada hakim yang tidak menerima gaji dari pemerintah, berbeda halnya dengan zaman sekarang.
Kitab yang ditahkik oleh RidhaFathi Muhammad Khalil Al’Ibadi ini memang patut diapresiasi karena hasil tahkik kitab ini sangat membantu pembaca karena banyaknya anotasi atau footnoteyang diberikan, baik berkaitan dengan nama, riwayat hidup tokoh-tokoh dan ulama-ulama yang ada di dalam kitab ini disajikan dengan baik atau pendapat-pendapat yang ada dirujukkan kepada kitab-kitab fiqh yang menjadi acuan didalam Mazhab Syafi’i atau mazhab yang lain. Tahkik kitab ini juga ditambah dengan biografi lengkap Ibnu Hajar, senarai judul-judul karya Ibnu Hajar dan sumber-sumber kitab manuskrip juga beberapa variasi perbedaan antara berbagai manuskrip disajikan sebagai footnote. Keseriusan tahkik ini dapat dilihat dari referensi yang digunakan yang jumlahnya mencapai 213 judul kitab, baik yang berbahasa arab atau bahasa inggris, jerman dan perancis ditambah lagi dengan fihris baik al Qur-an atau al Hadis maupun tokoh-tokoh ulama.
Tentang Kitab
Judul  : Idhaah Al Ahkam Lima Ya’khuzhuhu Al Úmmal Wa Al Hukkam
Karya  : Syaikhul Islam Syihabuddin Ahmad Bin Muhammad  Bin Ali Ibni Hajar Al  Haitami
Pentahkik  : Ridha Fathi Muhammad Khalil Al’Ibadi
Penerbit  : Beirut, Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah
Cetakan  : Pertama, 2004
Tebal  : 286 Halaman

Sabtu, 17 Oktober 2015

RENUNGANG BAGI YANG PULANG HAJI

PERTANYAAN IMAM JUNAIDI KEPADA SESEORANG YANG BARU PULANG HAJI

Suatu ketika Imam Junaid al-Baghdadi mendapat kunjungan dari seseorang yang baru saja pulang menunaikan haji. Meski ritual haji telah ia jalani, orang ini belum menunjukkan perubahan perilaku apa-apa dalam hidupnya.

“Dari mana Anda?” tanya Imam Junaid.

”Saya baru saja pulang dari ibadah haji ke Baitullah?” orang itu menimpali.

”Jadi, Anda benar-benar telah melaksanakan ibadah haji?”

”Tentu, Imam. Saya telah menunaikan haji.”

”Apakah Anda sudah janji akan meninggalkan dosa-dosa Anda saat meninggalkan rumah untuk pergi haji?”

“Tidak, Imam. Saya tidak pernah memikirkan hal itu.”

“Anda sejatinya tak pernah melangkahkan kaki untuk haji,” tegas Imam Junaid. “Saat Anda berada dalam perjalanan suci dan berhenti di suatu tempat semalaman, apakah Anda memikirkan tentang usaha mencapai kedekatan dengan Allah?”

“Itu semua tak terlintas di benak saya.”

“Berarti Anda tidak pergi menuju Ka’bah, tidak pula pernah mengunjunginya.”

“Saat Anda mengenakan pakaian Ihram dan melepas semua pakaian yang biasa Anda kenakan, apakah Anda sudah berketetapan untuk membuang semua cara dan perilaku buruk Anda, menjadi pribadi lebih baik?” tanya Imam Junaid lagi.

“Tidak, Imam. Saya juga tak pernah berpikir demikian.”

“Berarti Anda tidak pernah mengenakan pakaian ihram,” Imam Junaid menyayangkan. ”Saat Anda Wuquf (berdiam diri) di padang Arafah dan bersimpuh memohon kepada Allah, apakah Anda merasakan bahwa Anda sedang wuquf dalam Kehadiran Ilahi dan menyaksikan-Nya?”

”Tidak. Saya tak mendapat pengalaman (spiritual) apa-apa.”

Imam Junaid sedikit kaget, ”Baiklah, saat Anda datang ke Muzdalifah, apakah Anda berjanji akan menyerahkan nafsu jamaniah.

“Imam, saya pun tak memikirkan hal itu.”

“Berarti Anda sama sekali tak mengunjungi Muzdalifah.” Lantas Imam Junaid bertanya, “O, kalau begitu, ceritakan kepadaku Keindahan Ilahi apa yang Anda tangkap sekilas saat Thawaf, mengitari Ka’bah.”

“Tidak ada, Imam. Sekilas pun saya tak melihat.”

“Sama artinya Anda tidak mengelilingi Ka’bah sama sekali.” Lalu, “Ketika Sa’i, lari-lari kecil antara Shafa dan Marwa, apakah Anda menyadari tentang hikmah, nilai, dan tujuan jerih payah Anda?”

“Tidak.”

“Berarti Anda tidak melakukan Sa’i.” “Saat Anda menyembelih hewan di lokasi pengurbanan, apakah Anda juga mengurbankan nafsu keegoisan untuk menapaki jalan Allah?”

“Tidak. Saya gagal memperhatikan hal itu, Imam.”

“Artinya, secara faktual Anda tidak mengusahakan pengurbanan apa-apa.” “Lalu, ketika Anda melempar Jumrah, apakah Anda bertekad membuang jauh kawan dan nafsu busukmu?”

“Tidak juga, Imam.”

“Berarti Anda sama sekali tidak melempar Jumrah.”

Dengan nada menyesal, Imam Junaid menyergah, “Pergi, tunaikan haji lagi. Pikirkan dan perhatikan seluruh kewajiban yang ada hingga haji Anda mirip dengan ibadah haji Nabi Ibrahim, pemilik keyakinan dan kesungguhan hati sebagaimana ditegaskan al-Qur’an:

Wa ibrahima l-ladzi waffa. Dan Ibrahim yang telah menyempurnakan janji.


Wallahu A'lam Bissowwabb....

TATCARA MENJENGUK ORANG SAKIT

Diriwayatkan dari Abu Ishaq Sa’ad bin Abu Waqqash Malin bin Uhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay Al-Qurasyi As-Zuhri Radhiyallahu Anhu (beliau salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga), ia berkata:
Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam menjengukku ketika haji Wada’ karena aku sakit keras. Kemudian saya berkata, “Yaa Rasulullah! Sesungguhnya sakitku sangat keras seperti yang engkau lihat, sedangkan aku ini seorang hartawan dan hanya mempunyai seorang anak perempuan saja yang akan mewarisi hartaku. Bolehkah saya mengeluarkan sedekah dua pertiga dari harta saya?”
Beliau menjawab, “Tidak!” Aku bertanya lagi, “Bagaimana kalau separuhnya?” Maka beliau menjawab, “Tidak boleh!” Aku bertanya lagi, “Bagaimana kalau sepertiganya?” Beliau menjawab, “Sepertiga, dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya maka itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang lain. Tidaklah kamu menafkahkan suatu nafkah dengan tujuan untuk mendapat keridhaan Allah, maka kamu akan mendapat pahala dari nafkahmu itu, sekalipun sesuap makanan yang kamu masukkan ke dalam mulut istrimu.”
Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah! Apakah saya akan tertinggal (masih tetap hidup) sesudah sahabat-sahabat saya (meninggal dunia)?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kamu tidak akan tertinggal supaya kamu mengerjakan suatu amal dengan tujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah sehingga dengan amal itu derajatmu akan bertambah. Atau barangkali akan diakhirkan ajalmu sehingga banyak kaum yang mengambil manfaat darimu dan ada pula beberapa kaum lain yang menderita kerugian karenamu.”
Nabi bersabda, “Ya Allah...! Sempurnakanlah hijrah sahabat-sahabatku dan janganlah Engkau kembalikan mereka ke tempat yang mereka tinggalkan. Kasihan Saad bin Khaulah, yang selalu disayangkan oleh Rasulullah karena dia mati di Mekkah,” (Muttafaq Alaihi).
Penjelasan Hadist oleh Sheikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Dalam hadist ini terdapat banyak pelajaran:
Pertama, di antara kebiasan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam adalah menjenguk orang sakit, maka dari itu beliau juga menjenguk Sa’ad bin Abu Waqash Radhiyallahu Anhu. Dalam menjenguk orang sakit, terdapat banyak faidah, baik bagi yang menjenguk maupun bagi yang dijenguk (yang sakit). Penjenguk telah menunaikan hak saudaranya yang Muslim, karena di antara hak saudara Muslimmu adalah menjenguknya ketika dia sakit.
Kedua, jika seseorang menjenguk orang sakit berarti dia mendekati buah surga hingga pulang.
Ketiga, hal itu menjadi peringatan bagi penjenguk tentang nikmat kesehatan yang diberikan Allah kepadanya, karena ketika dia melihat orang sakit itu dan melihat sakit yang menimpanya, kemudian dia melihat dirinya dalam keadaan sehat wal afiat, maka dia akan tahu bahwa Allah telah memberinya nikmat kesehatan, karena sesuatu itu diketahui dengan lawannya.
Keempat, menjenguk orang sakit bisa mempererat rasa cinta kasih, karena jika seseorang menjenguk orang sakit, maka jengukannya ini akan selalu diingat dalam hati orang yang sakit itu dan setiap kali ingat dia akan semakin tambah cinta kepadanya. Fenomena seperti ini tampak jika orang yang sakit itu sembuh dari penyakitnya, lalu bertemu denganmu maka dia akan berterima kasih kepadamu dan Anda dapati hatinya masih terkesan dengan jengukan Anda tersebut.
Adapun bagi orang yang dijenguk, juga mendapatkan banyak faidah, karena jengukan itu akan menjadikannya tenang, lapang dada, menghilangkan keresahan dan kegalauan dari penyakit. Kadang-kadang orang yang menjenguk itu juga memberikan nasihat-nasihat yang baik, agar bertaubat, membantunya menyelesaikan hutang dan sebagainya sehingga jengukan itu memberikan faidah bagi yang dijenguk.
Maka dari itu para ulama berkata, “Orang yang menjenguk orang sakit sebaiknya menghiburnya, seperti mengatakan, “Masya Allah, kami kelihatan baik hari ini dan sebagainya.” Tidak pas kalau misalnya mengatakan, “Kamu sudah sembuh,” karena bisa jadi pada hari itu dia lebih parah dari kemarin. Tetapi hendaknya mengatakan, “Kamu kelihatan membaik hari ini.” Karena seorang mukmin adalah baik di segala keadaannya, jika ditimpa musibah dia baik dan jika mendapat kebahagiaan dia juga tetap baik.”
Ajal telah ditentukan jika memang ajal orang yang sakit itu datang. Jika dia masih punya kekayaan dunia, maka biarkan harta itu ada dan jangan dihabiskan.
Harus pula diingatkan agar dia senantiasa bertaubat, tetapi hendaknya tidak dikatakan secara terus terang bahwa penyakitnya sudah parah, karena bila dikatakan, mungkin dia akan ketakutan sehingga berkata kepada dirinya sendiri, “Jika sakit saya tidak berbahaya, tentu saya tidak diingatkan agar bertaubat.”
Tetapi mungkin mengajaknya bertaubat, mungkin bisa dimulai dengan menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist yang memuji orang-orang yang bertaubat yang dapat mengingatkan orang sakit. Begitu juga perlu diingatkan agar berwasiat, tetapi tidak mengatakan secara langsung seperti, “Berwasiatlah kamu karena ajalmu telah dekat.” Karena bila dikatakan seperti itu, tentu hatinya akan gelisah, tetapi untuk mengingatkannya, bisa dilakukan dengan menyebutkan kisah-kisah yang menyebutkan tentangnya.
Para ulama berkata, “Jika orang yang sakit itu minta dibacakan doa, maka hendaklah dibacakan doa-doa kepadanya, lalu ditiupkan kepadanya dengan doa-doa yang diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.”
Misalnya doa Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam,
اللّهمَّ رَبَّ النَّسِ أَذْهِبِ الْبأْسَ, اِشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لاَ شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ شِفَاءً لاَ يُغادِرُ سَقَمًا
“Ya Allah, Tuhan Manusia, Penghilang penyakit, sembuhkan, Engkau Maha Penyembuh, tidak ada Zat Penyembuh kecuali Engkau, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.”
Atau doa beliau
رَبَّنَا اللّهُ الَّذِي فِيْ السَّمَاءِ تَقَدَّسَ اسْمُكَ أَمْرُكَ فِي السَّمَاءِ والأَرْضِ كَمَا رَحْمَتُكَ فِي السَّمَاءِ فَاجْعَلْ رَحْمَتَكَ فِي الأَرْضِ أَنْتَ رَبُّ الطَّيِّبِيْنَ اغْفِرْ لَنَا حَوْبَنَا وَخَطَايَانَا أَنْزِلْ رَحْمَةً مِنْ رَحْمَتِكَ وَشِفَاءً مِنْ شِفَائِكَ عَلَى هَذَا الْوَجَعِ فَيَبْرَأُ
“Wahai Tuhan Allah yang ada di langit, Mahasuci Nama-Mu, perintahMu mencakup langit dan bumi, sebagaimana Engkau menurunkan rahmatMu di langit, maka turunkanlah rahmatMu di bumi, ampunilah kami, kesalahan dan dosa kami, Engkaulah Tuhan orang-orang baik, turunkan rahmatMu dan sembuhkan penyakit ini, niscaya akan sembuh.”
Atau dibacakan kepadanya surat Al-Fatihah, karena surat Al-Fatihah merupakan ruqyah yang dibacakan kepada orang sakit dan kepada orang yang digigit kalajengking atau ular dan sebagainya.
Yang penting, jika seseorang menjenguk orang sakit dan dia senang bila dibacakan doa-doa, maka hendaklah dia membacakannya, supaya dia tidak meminta sendiri untuk dibacakan doa, karena Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
“Saya telah melihat 70.000 umatku yang masuk surga tanpa dihisab dan diazab,”
Kemudian bersabda,
“Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta untuk diruqyah, tidak meminta orang lain untuk menempelkan besi panas (metode pengobatan kuno –edt), tidak meyakini ramalan datangnya nasib sial dan hanya kepada Allah mereka bertawakal.”
Begitu juga jika orang yang sakit itu senang bila kamu duduk lama di sisinya, maka duduklah di sampingnya berlama-lama, niscaya kamu akan mendapat kebaikan dan akan mendapatkan pahala. Hiburlah dia dan berikan kesenangan, karena mungkin dengan adanya kesenangan yang masuk ke dalam dirinya, itu menjadi sebab kesembuhannya. Karena kegembiraan yang dialami oleh orang sakit dan kelapangan dadanya merupakan sarana kesembuhan terbesar, maka berlama-lamalah duduk di sampingnya hingga kamu tahu bahwa dia telah bosan.
Adapun jika kamu melihat bahwa orang yang sakit itu merasa terbebani dengan kehadiranmu dan dia tidak senang jika kamu tinggal berlama-lama dengannya, atau dia lebih senang jika kamu pergi, supaya dia bisa tinggal bersama keluarganya, misalnya, maka janganlah kamu segera pergi begitu saja, tetapi tanyakan dulu keadaannya (basa-basi) kemudian pulanglah. 

Faedah kelima dari hadist tersebut di atas adalah meneladani akhlak Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang baik. Tidak diragukan lagi bahwa Nabi adalah manusia yang paling baik akhlaknya, karena itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis, berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. dan Sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung,” (QS Al-Qalam: 1-4).

Manusia yang paling agung akhlaknya dan paling baik budi pekertinya adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.

Beliau selalu mengunjungi sahabat-sahabatnya dan mengucapkan salam kepada mereka. Jika melewati anak-anak kecil, maka beliau juga mengucapkan salam kepada mereka. Wallahu’alam bish shawwab.

Sabtu, 10 Oktober 2015

Tata Cara Haji, Umrah dan Hukum Shalat di Masjid Nabawi



Segala sanjung puji kita haturkan ke hadirat Allah, Rabb yang kepadaNya kita senantiasa menyembah dan meminta pertolongan. Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada kekasih kita, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga dan segenap sahabatnya. Amin.
Menunaikan ibadah haji adalah sesuatu yang amat dirindukan oleh setiap umat Islam, bahkan oleh yang telah menunaikannya berkali-kali sekalipun.Karena itu, bagi yang dimudahkan Allah untuk bisa menunaikan ibadah haji tahun ini agar meng-gunakan kesempatan emas itu dengan sebaik-baiknya. Sebab, belum tentu kesempatan menunaikan ibadah haji itu datang kembali.
Agar bisa beribadah haji dengan sebaik-baiknya, sekhusyu'-khusyu'nya dan menjadi haji mabrur, di samping harus ikhlas kita harus memiliki ilmu yang cukup seputar bagaimana menjalankan ibadah haji sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Rubrik ini memberikan pedoman bagaimana menunaikan haji sesuai tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dengan kata lain, semuanya berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih, sesuai pemahaman Salaf (sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in), pemahaman yang dengannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan kita dalam memahami agama.
Tulisan ini pada awalnya adalah tulisan harian yang dibuat secara berseri sesuai dengan apa yang harus dilakukan oleh jamaah haji pada hari itu. Tulisan-tulisan tersebut kemudian dibagikan kepada jamaah haji di sana dan mendapat tanggapan yang sangat baik dari jamaah haji.
Di samping memberikan tuntunan manasik haji yang benar, rubrik ini juga memperingatkan kita untuk menghindari pekerjaan-pekerjaan yang bisa merusak ibadah haji, yang ironinya banyak dilakukan jamaah haji.
Sungguh, banyak orang yang menyesal setelah menunaikan ibadah haji. Menyesal karena menunaikan ibadah haji tanpa ilmu, atau menyesal karena kurang bersungguh-sungguh dalam beribadah di tempat yang amat mulia tersebut, menyesal karena kurang memperhatikan sunnah dsb. Maka, sebelum hal itu terjadi pada diri Anda, bacalah rubrik ini. Insya Allah , dengan demikian Anda akan memiliki bekal sebaik-baiknya dalam menunaikan ibadah haji.
Sebagai catatan, hingga saat ini, hampir setiap umat Islam memiliki gambaran bahwa haji adalah ibadah yang sulit dan rumit. Gambaran itu tak lepas dari cara penyajian dan sistimatika pembahasan buku-buku tentang haji yang beredar selama ini. Belum lagi kesulitan-kesulitan itu memang ada yang sengaja dibuat, misalnya masalah do'a-do'a khusus pada setiap amalan, padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengajarkannya. Juga amalan-amalan tertentu yang tidak ada dasarnya, baik dari Al-Qur'an maupun As-Sunnah yang shahih.
Insya Allah gambaran bahwa haji itu sulit akan hilang dari benak Anda setelah membaca rubrik ini. Rubrik ini tentu sangat membantu, karena menuntun Anda secara runut apa yang harus Anda lakukan pada hari-hari haji. Misalnya, ketika hari Tarwiyah, Arafah, hari Raya, apa saja yang harus Anda lakukan, Anda bisa baca dalam buku ini, dan demikian seterusnya.
Lebih dari itu, rubrik ini akan menuntun Anda menunaikan haji sesuai dengan tuntunan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . Maka tak berlebihan jika dikatakan, rubrik ini adalah rubrik pedoman haji yang sangat sistimatis, mudah, praktis dan lengkap.
Akhir kata, semoga haji kita diterima Allah Subhannahu wa Ta'ala. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan segenap sahabatnya. Amin.
MUQADDIMAH
 
Pertama: Haji adalah salah satu dari lima rukun Islam. Ia wajib dilakukan sekali seumur hidup, berdasarkan firman Allah:
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (Ali Imran: 97).
Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Islam itu dibangun di atas lima perkara; bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah dan (bersaksi) bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa (di bulan) Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah." (Muttafaq Alaih).
Haji diwajibkan dengan lima syarat:
  1. Islam.
  2. Berakal.
  3. Baligh.
  4. Merdeka.
  5. Mampu.
  6. Dan bagi perempuan ditambah dengan satu syarat yaitu adanya mahram yang pergi bersamanya. Sebab haram hukumnya jika ia pergi haji atau safar (bepergian) lainnya tanpa mahram, berdasarkan sabda Nabi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

    "Tidak (dibenarkan seorang) wanita bepergian kecuali dengan mahramnya." (Muttafaq Alaih).
    Jika seorang wanita pergi haji tanpa mahram maka ia berdosa tetapi hajinya tetap sah.
Syarat kelima yakni mampu, meliputi kemampuan materi dan fisik. Barangsiapa tidak mampu dengan hartanya untuk memenuhi biaya perjalanan, nafkah haji dan sejenisnya maka ia tidak berkewajiban haji. Adapun orang yang mampu secara materil, tetapi tidak mampu secara fisik dan jauh harapan sembuhnya, seperti orang yang sakit menahun, orang yang cacat atau tua renta maka ia harus mewakilkan hajinya kepada orang lain. Dan disyaratkan orang yang mewakilinya sudah haji untuk dirinya sendiri.
Kedua: Allah berfirman:
"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimak-lumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan." (Al-Baqarah: 197).
Rafats adalah bersetubuh atau yang merangsang kepadanya, berbuat fasik artinya berbuat maksiat, sedang yang dimaksud berbantah-bantahan adalah berbantah-bantahan secara batil atau berbantah-bantahan yang tidak ada manfaatnya, atau yang bahayanya lebih besar dari manfaatnya.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Barangsiapa menunaikan haji sedang ia tidak melakukan rafats dan perbuatan fasik maka ia pulang (haji) sebagaimana hari ketika ia dilahirkan ibunya." (Muttafaq Alaih).

"Umrah ke umrah lainnya adalah kaffarah (peng-hapus dosa) antara keduanya, dan haji mabrur tiada lain balasannya selain Surga." (Muttafaq Alaih).
Karena itu wahai Saudara Haji, waspadalah dari terperosok ke dalam maksiat, baik yang besar maupun yang kecil. Seperti mengakhirkan shalat dari waktunya, ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), mencaci dan menghina, mendengarkan nyanyian, men-cukur jenggot, isbal (menurunkan atau memanjangkan pakaian/kain hingga di bawah mata kaki), merokok, melihat kepada yang haram di jalan atau di telivisi. Kemudian bagi wanita, hendaknya menutupi semua tubuhnya dengan hijab syar'i (kain penutup yang di-syari'atkan) serta menjauhkan diri dari memperlihatkan aurat.
Dengan banyaknya manusia, desak-desakan dan lelah, terkadang seseorang diuji dengan berbantah-bantahan yang dilarang dalam haji. Misalnya dengan petugas lalu lintas atau sopir mobil umum; ketika berdesak-desakan saat thawaf atau ketika melempar jumrah. Waspadalah dari godaan dan tipu daya setan. Berusahalah untuk selalu bersikap lembut, sabar dan berpaling dari orang-orang bodoh. Usahakan untuk tidak keluar dari lisanmu kecuali ucapan-ucapan yang baik.
Ketiga: Ketika haji, sebagian wanita tidak mengenakan jubah wanita dan ia berjalan di antara laki-laki dengan pakaiannya. Terkadang pula ia memakai celana panjang. Ia mengira bahwa hijab itu hanyalah sebatas meletakkan kerudung di atas kepala. Ini adalah pemahaman yang keliru. Lebih parah lagi, sebagian wanita pada hari Raya berhias dan berjalan di depan laki-laki dengan mengenakan pakaian yang indah. Ia mengira bahwa itu adalah bagian dari kegembiraan hari Raya. Ia tidak memahami bahwa perbuatannya itu termasuk kefasikan yang besar dalam ibadah haji. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Aku tidak meninggalkan fitnah setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita." (Muttafaq Alaih).
Sebagian wanita ada juga yang menganggap remeh masalah tidur di tempat-tempat umum yang membuat laki-laki bisa melihat mereka.
Adalah wajib bagi wanita muslimah untuk bertaq-wa kepada Allah dan membatasi diri dari laki-laki asing (bukan mahram) dengan mengenakan baju kurung lebar yang tidak ada perhiasannya, sehingga tak kelihatan sesuatu pun dari (anggota badan)nya, baik wajah, tangan atau kakinya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Wanita adalah aurat. Jika ia keluar maka setan mengawasi/mengincarnya." (HR. At-Tirmidzi dengan sanad shahih).
Pada asalnya, istisyraf (mengincar) berarti meletakkan telapak tangan di atas alis mata serta mendongakkan kepala untuk melihat. Maknanya sesuai konteks hadits di atas- adalah jika wanita keluar rumah maka setan mengincarnya untuk menggodanya atau menggoda (laki-laki) dengan dirinya.
Keempat: Jika seorang muslim melakukan ihram haji atau umrah maka haram atasnya sebelas perkara sampai ia keluar dari ihramnya (tahallul):
  1. Mencabut rambut.
  2. Menggunting kuku.
  3. Memakai wangi-wangian.
  4. Membunuh binatang buruan (darat, adapun bina-tang laut maka dibolehkan).
  5. Mengenakan pakaian berjahit (bagi laki-laki dan tidak mengapa bagi wanita). Pakaian berjahit adalah pakaian yang membentuk badan, seperti baju, kaos, celana pendek, gamis, celana panjang, kaos tangan dan kaos kaki. Adapun sesuatu yang ada jahitannya tetapi tidak membentuk badan maka hal itu tidak membahayakan muhrim (orang yang sedang ihram), seperti sabuk, jam tangan, sepatu yang ada jahitan-nya dsb.
  6. Menutupi kepala atau wajah dengan sesuatu yang menempel (bagi laki-laki), seperti peci, penutup kepala, surban, topi dan yang sejenisnya. Tetapi dibolehkan berteduh di bawah payung, di dalam kemah dan mobil. Juga dibolehkan membawa barang di atas kepala jika tidak dimaksudkan untuk menutupinya.
  7. Memakai tutup muka dan kaos tangan (bagi wanita). Tetapi jika di depan laki-laki asing (bukan mahram) maka ia wajib menutupi wajah dan kedua tangannya, namun dengan selain tutup muka (cadar), misalnya dengan menurunkan kerudung ke wajah dan memasukkan tangan ke dalam baju kurung.
  8. Melangsungkan pernikahan.
  9. Bersetubuh.
  10. Bercumbu (bermesraan) dengan syahwat.
  11. Mengeluarkan mani dengan onani atau bercumbu.
Orang Yang Melakukan Hal-hal Yang Dilarang Memiliki Tiga Keadaan:
  1. Ia melakukannya tanpa udzur (alasan), maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah (tebusan).
  2. Ia melakukannya untuk suatu keperluan, seperti memotong rambut karena sakit. Perbuatannya ter-sebut dibolehkan, tetapi ia wajib membayar fidyah.
  3. Ia melakukannya dalam keadaan tidur, lupa, tidak tahu atau dipaksa. Dalam keadaan seperti itu ia tidak berdosa dan tidak wajib membayar fidyah.
Jika yang dilanggar itu berupa mencabut rambut, menggunting kuku, memakai wangi-wangian, bercumbu karena syahwat, laki-laki mengenakan kain yang berjahit atau menutupi kepalanya, atau wanita memakai tutup muka (cadar) atau kaos tangan maka fidyah-nya antara tiga hal. Orang yang melakukan pelanggaran itu boleh memilih salah satu daripadanya:
  1. Menyembelih kambing (untuk dibagikan kepada orang-orang fakir miskin dan ia tidak boleh memakan sesuatu pun daripadanya).
  2. Memberi makan enam orang miskin, masing-masing setengah sha' makanan. (setengah sha' lebih kurang sama dengan 1,25 kg.).
  3. Berpuasa selama tiga hari.
Dari larangan-larangan di atas, dikecualikan hal-hal berikut ini:
  1. Melangsungkan pernikahan, sebab ia hukumnya haram, maka tidak ada fidyah karenanya.
  2. Membunuh binatang buruan (darat), sebab ia hukumnya haram, dan terdapat denda jika ia membunuhnya secara sengaja.
  3. Bersetubuh (dan ia adalah larangan yang paling besar). Jika ia melakukannya secara sengaja sebelum tahallul pertama, maka ada lima konsekuensi:
      1. Berdosa
      2. Hajinya batal.
      3. Ia wajib menyempurnakan hajinya.
      4. Ia wajib mengulangi (men-qadha') hajinya pada tahun depan.
      5. Ia wajib membayar fidyah berupa seekor unta yang disembelih ketika melakukan haji qadha'.
Kelima: Haji ada tiga jenis; tamattu', qiran dan ifrad. Yang paling utama adalah haji tamattu', karena perintah Nabi J terhadapnya. Haji tamattu' yaitu ia melakukan ihram dengan niat umrah saja pada bulan haji, setelah selesai melakukannya ia lalu melakukan ihram dengan niat haji pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah, pen.).
Haji ifrad yaitu ia melakukan ihram dengan niat haji saja, ketika sampai di Makkah ia melakukan thawaf qudum, kemudian langsung melakukan sa'i haji setelah thawaf qudum .
Haji qiran yaitu ia melakukan ihram dengan niat umrah dan haji sekaligus. Pekerjaan orang yang menunaikan haji qiran sama dengan pekerjaan haji ifrad , kecuali dalam dua hal:
1. Niat. Orang yang melakukan haji ifrad hanya meniatkan haji saja, sedangkan orang yang menunaikan haji qiran meniatkan untuk umrah dan haji (secara bersamaan).
2. Hadyu (menyembelih kurban). Orang yang menunaikan haji qiran wajib menyembelih kurban, sedangkan orang yang menunaikan haji ifrad tidak wajib hadyu (menyembelih kurban
TATA CARA UMRAH
 
Pertama: Ihram dari miqat.
Mandilah lalu usapkanlah minyak wangi ke bagian tubuhmu, misalnya ke rambut dan jenggot. Jangan mengusapkan minyak wangi ke pakaian ihram. Jika pakaian ihram terkena minyak wangi maka cucilah. Hindarilah pakaian yang berjahit. Kenakan selendang dan kain putih, juga sandal. (Payung, kaca mata, cincin dan sabuk boleh dikenakan oleh orang yang sedang ihram).
Adapun bagi wanita, maka ia mandi meskipun haid, lalu mengenakan pakaian yang ia kehendaki, tetapi harus memenuhi syarat hijab, sehingga tidak tampak sesuatu pun dari bagian tubuhnya. Juga tidak berhias dengan perhiasan dan tidak memakai minyak wangi serta tidak menyerupai laki-laki.
Jika Anda tidak mampu berhenti di miqat seperti yang melakukan perjalanan dengan pesawat terbang maka mandilah sejak di rumah, lalu jika telah mendekati miqat mulailah ihram dan ucapkanlah:

"Labbaika 'Umratan" artinya :
"Aku penuhi panggilanMu untuk menunaikan ibadah umrah."
Jika Anda khawatir tidak bisa menyempurnakan ibadah haji karena sakit atau lainnya maka ucapkan:

"Fa in habasanii haabisun famahallii haitsu habastanii" artinya :
"Jika aku terhalang oleh suatu halangan maka tempat (tahallul)ku adalah di mana Engkau menahanku."
Lalu mulailah mengucapkan talbiyah hingga sampai ke Makkah. Talbiyah hukumnya sunnah mu'akkadah (ditekankan), baik untuk laki-laki maupun wanita. Bagi laki-laki disunnahkan untuk mengeraskan suara talbiyah, dan tidak bagi wanita. Talbiyah yang dimaksud adalah ucapan:

"Labbaika Allahumma labbaika, Labbaika Laa Syariika laka labbaika, innal hamda wanni'mata laka wal mulka, laa syariika laka"
"Aku penuhi panggilanMu ya Allah, aku penuhi panggilanMu. Aku penuhi panggilanMu, tidak ada sekutu bagiMu, aku penuhi panggilanMu. Sesungguh-nya segala pujian dan nikmat serta kerajaan adalah milikMu, tidak ada sekutu bagiMu."
Disunnahkan mandi sebelum masuk Makkah, jika hal itu memungkinkan.
Peringatan:
  1. Sebagian orang mempercayai bahwa pakaian yang dikenakan wanita haruslah berwarna tertentu, misalnya hijau, hitam atau putih. Ini adalah tidak benar! Sungguh tidak ada ketentuan sedikit pun tentang warna pakaian yang harus dikenakan.
  2. Talbiyah yang dilakukan secara bersama-sama dengan satu suara -di mana hal ini dilakukan oleh sebagian jamaah haji adalah bid'ah. Perbuatan tersebut tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, juga tidak dari salah seorang sahabatnya. Yang benar adalah hendaknya setiap Haji mengucapkan talbiyah sendiri-sendiri.
  3. Tidak diharuskan seorang yang sedang ihram, baik laki-laki maupun wanita mengenakan terus pakaian yang ia kenakan ketika ihram sepanjang ibadahnya, tetapi dibolehkan ia menggantinya kapan dia suka.
  4. Hendaknya setiap Haji benar-benar memper-hatikan masalah menutup aurat, sebab sebagian laki-laki terkadang auratnya terbuka di depan orang lain, misalnya ketika duduk atau tidur, sedang dia tidak merasa.
  5. Sebagian wanita mempercayai dibolehkannya membuka wajah di depan laki-laki selama masih dalam keadaan ihram. Ini adalah keliru! Ia wajib menutupi wajahnya. Di antara dalil masalah ini adalah ucapan Aisyah radhiallahu anha:

"Dahulu ada kafilah yang melewati kami, sedang kami dalam keadaan ihram bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika mereka telah dekat dengan kami, salah seorang dari kami mengulurkan jilbabnya ke wajahnya, dan ketika mereka telah lewat, kami membukanya kembali." (HR. Ahmad dan Abu Daud dengan sanad hasan).
Dan dari Asma' binti Abi Bakar radhiallahu anha, ia berkata:

"Kami menutupi wajah kami dari (penglihatan) laki-laki dan sebelumnya kami menyisir rambut ketika ihram." (Dikeluarkan Al-Hakim dan lainnya, atsar ini shahih).
Kedua: Jika Anda telah sampai di Masjidil Haram, dahulukanlah kaki kananmu dan ucapkan (do'a):

'Dengan nama Allah, semoga shalawat dan salam dicurahkan kepada Rasulullah. Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmatMu'. 'Aku berlindung kepada Allah Yang Mahaagung dan dengan WajahNya Yang Mahamulia serta KekuasaanNya Yang Mahaazali dari setan yang terkutuk'." Do'a ini juga diucapkan ketika memasuki masjid-masjid yang lain.
Ketiga: Lalu mulailah melakukan thawaf dari hajar aswad (dan atau dari tempat yang searah dengannya, pen.), kemudian menghadaplah kepadanya dan ucap-kan, 'Allahu Akbar' (Allah Mahabesar), lalu usaplah hajar aswad itu dengan tangan kananmu kemudian ciumlah. Jika Anda tidak mampu menciumnya maka usaplah hajar aswad itu dengan tanganmu atau dengan lainnya, lalu ciumlah sesuatu yang dengannya Anda mengusap hajar aswad. Jika Anda tidak mampu melaku-kannya, maka jangan mendesak orang-orang (untuk mencapainya), tetapi berilah isyarat kepada hajar aswad dengan tanganmu sekali isyarat (dan jangan Anda cium tanganmu). Lakukan hal itu dalam memulai setiap putaran thawaf.
Berthawaflah tujuh kali putaran dengan menjadi-kan Ka'bah di sebelah kirimu. Lakukan raml (jalan cepat dengan memendekkan langkah) pada tiga putaran pertama dan berjalanlah (biasa) pada putaran berikut-nya. Dalam semua putaran thawaf tersebut lakukanlah idhthiba' (meletakkan pertengahan kain selendang di bawah pundak kanan, dan kedua ujungnya di atas pundak kiri). Raml dan idhthiba' tersebut khusus bagi laki-laki dan hanya dilakukan pada thawaf yang pertama. Atau thawaf umrah bagi orang yang menger-jakan haji tamattu' dan thawaf qudum bagi orang yang melakukan haji qiran dan ifrad.
Jika Anda telah sampai ke Rukun Yamani maka usaplah dengan tanganmu jika hal itu memungkinkan-, tetapi jangan menciumnya. Jika tidak bisa mengusapnya maka jangan memberi isyarat kepadanya. Dan disunnahkan ketika Anda berada di antara Rukun Yamani dan hajar aswad membaca do'a:

"Wahai Rabb kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api Neraka."
Dalam thawaf, tidak ada do'a-do'a khusus dari tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selain do'a di atas, tetapi memang disunnahkan memperbanyak dzikir dan do'a ketika thawaf (do'a apa saja yang dikehendaki, pen.). Jika Anda membaca ayat-ayat Al-Qur'an ketika thawaf, maka itu adalah baik.
Peringatan:
  1. Bersuci adalah syarat sahnya thawaf. Jika wudhu Anda batal di tengah-tengah melakukan thawaf, maka keluar dan berwudhulah, lalu ulangilah thawaf Anda dari awal.
  2. Jika di tengah-tengah Anda melakukan thawaf didirikan shalat, atau Anda mengikuti shalat jenazah, maka shalatlah bersama mereka lalu sempurnakanlah thawaf Anda dari tempat mana Anda berhenti. Jangan lupa menutupi kedua pundak Anda, sebab menutupi keduanya dalam shalat adalah wajib.
  3. Jika Anda perlu duduk sebentar, atau minum air atau berpindah dari lantai bawah ke lantai atas atau sebaliknya di tengah-tengah thawaf, maka hal itu tidak mengapa.
  4. Jika Anda ragu-ragu tentang bilangan putaran, maka pakailah bilangan yang Anda yakini; yaitu yang lebih sedikit. Jika Anda ragu-ragu apakah Anda telah melakukan thawaf tiga atau empat kali maka tetapkan-lah tiga kali, tetapi jika Anda lebih mengira bilangan tertentu maka tetapkanlah bilangan tersebut.
Sebagian Haji melakukan idhthiba' sejak awal me-makai pakaian ihram dan tetap seperti itu dalam seluruh manasik haji. Ini adalah keliru. Yang disyari'atkan adalah hendaknya ia menutupi kedua pundaknya, dan tidak melakukan idhthiba' kecuali ketika thawaf yang pertama, sebagaimana telah disinggung di muka.
Keempat: Jika Anda selesai dari putaran ketujuh, saat mendekati hajar aswad, tutuplah pundakmu yang kanan, kemudian pergilah menuju maqam Ibrahim, jika hal itu memungkinkan, lalu ucapkanlah firman Allah:
"Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat." (Al-Baqarah: 125).
Jadikanlah posisi maqam itu antara dirimu dengan Ka'bah, jika memungkinkan, lalu shalatlah dua rakaat. Pada raka'at pertama Anda membaca, setelah Al-Fatihah- surat Al-Kafirun dan pada raka'at kedua surat Al-Ikhlash .
Peringatan:
Shalat dua raka'at thawaf hukumnya sunnah dikerjakan di belakang maqam Ibrahim, tetapi melaku-kannya di tempat mana saja dari Masjidil Haram juga dibolehkan.
Termasuk kesalahan yang dilakukan oleh sebagian jamaah haji adalah shalat di belakang maqam Ibrahim pada saat orang penuh sesak, sehingga dengan demikian menyakiti orang lain yang sedang thawaf. Yang benar, hendaknya ia mundur ke belakang sehingga jauh dari orang-orang yang thawaf, dan hendaknya ia menjadikan posisi maqam Ibrahim antara dirinya dengan Ka'bah, atau bahkan boleh melakukan shalat di mana saja di Masjidil Haram.
Kelima: Selanjutnya pergilah ke zam-zam dan minumlah airnya. Lalu berdo'alah kepada Allah dan tuangkan air zam-zam di atas kepalamu. Jika memung-kinkan, pergilah ke hajar aswad dan usaplah.
Keenam: Lalu pergilah menuju Shafa, dan ketika telah dekat bacalah firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi'ar Allah." (Al-Baqarah: 158).Kemudian ucapkanlah:

"Kami memulai dengan apa yang dengannya Allah memulai."
Kemudian naiklah ke (bukit) Shafa dan menghadaplah ke Ka'bah lalu bertakbirlah tiga kali dan ucapkan:

"Tiada sesembahan yang haq melainkan Allah semata, tiada sekutu bagiNya, hanya bagiNya segala kerajaan dan hanya bagiNya segala puji dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tiada sesembahan yang haq melainkan Dia, tiada sekutu bagiNya, yang menepati janjiNya, yang memenangkan hambaNya dan yang menghancurkan golongan-golongan (kafir) dengan tanpa dibantu siapa pun."
Ulangilah dzikir tersebut sebanyak tiga kali dan berdo'alah pada tiap-tiap selesai membacanya dengan do'a-do'a yang Anda kehendaki.
Ketujuh: Kemudian turunlah untuk melakukan sa'i antara Shafa dan Marwah. Bila Anda berada di antara dua tanda hijau, lakukanlah sa'i dengan berlari kecil (khusus untuk laki-laki dan tidak bagi wanita). Jika Anda telah sampai di Marwah, naiklah ke atasnya dan menghadaplah ke Ka'bah, kemudian ucapkan sebagaimana yang Anda ucapkan di Shafa. Demikian hendaknya yang Anda lakukan pada putaran berikut-nya. Pergi (dari Shafa ke Marwah) dihitung satu kali putaran dan kembali (dari Marwah ke Shafa) juga dihitung satu kali putaran hingga sempurna menjadi tujuh kali putaran. Karena itu, putaran sa'i yang ke tujuh berakhir di Marwah. Tidak ada dzikir (do'a) khusus untuk sa'i, karena itu perbanyaklah dzikir dan do'a serta membaca Al-Qur'an.
Peringatan:
Ada dua bid'ah saat thawaf dan sa'i yang tersebar di sebagian orang:
  1. Terpaku dengan do'a-do'a tertentu pada setiap putaran, sebagaimana ditemukan dalam buku-buku kecil.
  2. Jama'ah haji berdo'a bersama-sama dengan di-komando oleh seorang pemimpin (rombongan) dengan koor (satu suara) dan keras.
Para Haji hendaknya mewaspadai kedua bid'ah di atas, sebab tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, juga tidak dari salah seorang sahabatnya .
Kedelapan: Jika selesai mengerjakan sa'i cukurlah rambut Anda (sampai bersih) atau pendekkanlah. Bagi orang yang menunaikan umrah, mencukur (gundul) rambut adalah lebih utama, kecuali jika waktu haji sudah dekat, maka memendekkan rambut lebih utama, sehing-ga mencukur (gundul) rambut dilakukan pada waktu haji. Dan tidak cukup memendekkan rambut hanya beberapa helai pada bagian depan kepala dan bela-kangnya sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian jama'ah Haji, tetapi hendaknya memendekkan tersebut dilakukan pada seluruh rambut atau pada sebagian besarnya. Adapun bagi wanita, maka hendaknya ia mengumpulkan rambutnya dan mengambil daripadanya kira-kira seujung jari. Jika rambutnya keriting (tidak sama panjang ujungnya) maka harus diambil dari tiap-tiap kepangan (genggaman).
Jika hal di atas telah Anda lakukan, berarti Anda telah menyelesaikan umrah. Dan segala puji adalah milik Allah semata.
Peringatan:
Termasuk kesalahan yang dilakukan oleh sebagian jama'ah Haji adalah mengulang-ulang umrah ketika sampai di Makkah. Yang demikian itu bukanlah tun-tunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, juga bukan tuntunan para sahabatnya . Seandainya pun di dalamnya ada keutamaan, tentu mereka telah melakukannya mendahului kita.
HARI TARWIYAH
Hari tarwiyah adalah hari kedelapan dari bulan Dzul Hijjah. Disebut demikian karena pada hari itu orang-orang mengenyangkan diri dengan minum air untuk (persiapan ibadah) selanjutnya.
Pekerjaan-pekerjaan pada hari tarwiyah:
Disunnahkan bagi orang yang menunaikan haji tamattu' untuk melakukan ihram haji pada hari tersebut, yakni dari tempat di mana ia singgah. Maka, hendaknya ia mandi dan mengusapkan wewangian di tubuhnya, tidak mengenakan kain yang berjahit, dan ia ihram dengan selendang, kain dan sandal.
Adapun bagi wanita, maka hendaknya ia mandi dan menggunakan pakaian apa saja yang dikehendakinya dengan syarat tidak menampakkan perhiasannya, tidak memakai penutup muka, juga tidak memakai kaos tangan.
Selanjutnya Anda mengucapkan: (Aku penuhi panggilanMu untuk menunaikan ibadah haji). Jika ditakutkan ada halangan maka Anda disunnahkan memberi syarat dengan mengucapkan:

"Jika aku terhalang oleh suatu halangan maka tempat (tahallul)ku adalah di mana Engkau menahanku."
Selanjutnya ucapkanlah talbiyah:
 
"Aku penuhi panggilanMu ya Allah, aku penuhi panggilanMu, aku penuhi panggilanMu, tidak ada sekutu bagiMu, aku penuhi panggilanMu. Sesungguh-nya segala puji, kenikmatan dan kerajaan adalah milikMu, tidak ada sekutu bagiMu."

Demikian Anda terus mengumandangkan talbiyah dengan mengeraskan suara, sampai Anda melempar jumrah aqabah pada hari Nahar (kurban).
Pada malam ini Anda disunnahkan bermalam di Mina.
Dan di Mina, Anda disunnahkan menunaikan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya' dan Shubuh pada hari Arafah, semuanya dilakukan dengan qashar, tanpa jama'.
Setiap Haji hendaknya memanfaatkan waktu-waktu luangnya untuk sesuatu yang bermanfaat. Seperti mendengarkan ceramah agama, membaca Al-Qur'an, membaca buku tentang manasik haji dsb.
HARI ARAFAH
Jika matahari terbit pada hari Arafah (hari kesembilan dari bulan Dzul Hijjah), maka setiap Haji berangkat dari Mina ke Arafah, seraya mengumandang-kan talbiyah atau takbir. Hal itu sebagaimana telah dilakukan oleh para sahabat , sedang mereka bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ; ada yang mengumandangkan talbiyah dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, ada yang bertakbir dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak mengingkarinya.
Jika matahari telah tergelincir, maka ia shalat Zhuhur dan Ashar secara jama' qashar dengan satu adzan dan dua iqamat. Sebelum shalat, imam menyam-paikan khutbah yang materinya sesuai dengan keadaan (ibadah haji, pen.).
Setelah shalat, setiap Haji menyibukkan diri dengan dzikir, do'a dan merendahkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala. Sebaiknya berdo'a dengan mengangkat kedua tangan dan menghadap kiblat hingga terbenamnya matahari. Demikian seperti yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Karena itu, setiap Haji hendaknya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang agung ini. Hendaknya ia mengulang-ulang serta memperbanyak do'a, juga hendaknya ia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sejujur-jujurnya.
Para Haji, di bawah ini beberapa nash yang menunjukkan keutamaan hari Arafah:
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Haji adalah Arafah." (HR. Ahmad dan para penulis kitab Sunan, shahih).
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Tidak ada hari yang ketika itu Allah lebih banyak membebaskan hamba dari (siksa) Neraka selain hari Arafah. Dan sungguh ia telah dekat, kemudian Allah membanggakan mereka di hadapan para malaikat, seraya berfirman, 'Apa yang mereka kehendaki?'" (HR. Muslim).
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Yang paling utama aku ucapkan, juga yang diucapkan oleh para nabi pada sore hari Arafah adalah, 'Tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, bagiNya kerajaan dan segala puji, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu'." (HR. Malik dan lainnya, shahih).
Peringatan:
  1. Hendaknya setiap Haji yakin bahwa dirinya benar-benar berada di wilayah Arafah. Batasan-batasan Arafah itu dapat diketahui dengan spanduk-spanduk besar yang ada di sekeliling Arafah.
  2. Masjid Namirah tidak semuanya berada di wilayah Arafah, tetapi sebagiannya berada di wilayah Arafah (bagian belakang masjid), dan sebagian lain berada di luar Arafah (bagian depan masjid).
  3. Sebagian orang mengira jika jabal (bukit) Arafah (biasa disebut jabal Rahmah, pen.) memiliki keutamaan. Ini adalah tidak benar.
  4. Sebagian Haji tergesa-gesa, sehingga keluar dari Arafah menuju Muzdalifah sebelum tenggelamnya matahari. Ini adalah salah. Yang wajib adalah tinggal di Arafah hingga tenggelamnya matahari.
BERMALAM DI MUZDALIFAH
Jika matahari telah tenggelam pada hari Arafah maka para Haji berduyun-duyun (meninggalkan) Arafah menuju Muzdalifah dengan tenang, diam dan tidak berdesak-desakan. Jika telah sampai Muzdalifah ia shalat Maghrib dan Isya' secara jama' qashar dengan satu adzan dan dua iqamat.
Diharamkan mengakhirkan shalat Isya' hingga lewat pertengahan malam, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Waktu Isya' adalah sampai pertengahan malam." (HR. Muslim).
Jika ia takut akan lewatnya waktu, hendaknya ia shalat Maghrib dan Isya' di tempat mana saja, meskipun di Arafah.
Lalu ia bermalam di Muzdalifah hingga terbit fajar. Kemudian ia shalat Shubuh di awal waktunya, lalu menuju Masy'aril Haram, yaitu bukit yang berada di Muzdalifah, jika hal itu memungkinkan baginya. Jika tidak, maka seluruh Muzdalifah adalah mauqif (tempat berhenti yang disyari'atkan). Di sana hendaknya ia menghadap kiblat dan memanjatkan pujian kepada Allah, bertakbir, mengesakan dan berdo'a kepadaNya. Jika pagi telah tampak sangat menguning, sebelum terbit matahari, para Haji berangkat menuju Mina dengan mengumandangkan talbiyah , demikian ia terus ber-talbiyah hingga sampai melempar jumrah aqabah.
Adapun bagi orang-orang yang lemah dan para wanita maka mereka dibolehkan langsung menuju Mina pada akhir malam. Hal itu berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, ia berkata:

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengutusku ketika akhir waktu malam dari rombongan orang-orang (di Muzdalifah) dengan membawa perbekalan Nabiullah shallallahu 'alaihi wa sallam." (HR. Muslim).
Dan adalah Asma' binti Abi Bakar radhiyallahu anhuma berangkat dari Muzdalifah setelah tenggelamnya bulan. Sedangkan tenggelamnya bulan adalah terjadi kira-kira setelah berlalunya dua pertiga malam.
Peringatan:
  1. Sebagian orang mempercayai bahwa batu-batu kerikil untuk melempar jumrah diambil dari sejak kedatangan mereka di Muzdalifah. Ini adalah kepercayaan yang salah dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Batu-batu kerikil itu boleh diambil dari tempat mana saja.
  2. Sebagian orang mengira bahwa pertengahan malam adalah pukul dua belas malam. Ini adalah keliru. Yang benar, pertengahan malam adalah separuh dari seluruh jam yang ada pada malam hari. Kalau dihitung secara matematika adalah sebagai berikut: (Keseluruhan jam yang ada pada malam hari : 2 + waktu tenggelamnya matahari = pertengahan malam ). Jika matahari tenggelam pada pukul enam sore misalnya, sedangkan terbitnya fajar pada pukul lima pagi maka pertengahan malamnya adalah pukul sebelas lebih tiga puluh menit. (Keseluruhan jam yang ada pada malam hari, yakni 11 jam : 2 + waktu tenggelamnya matahari, yakni pukul 6 = 11, 30 menit).
  3. Di antara penyimpangan yang menyedihkan pada malam tersebut adalah bahwa sebagian Hujjaj mendirikan shalat Shubuh sebelum tiba waktunya, padahal shalat itu tidak sah jika dilakukan sebelum masuk waktunya.
  4. Hendaknya setiap Haji meyakini benar bahwa ia berada di wilayah Muzdalifah. Hal itu bisa diketahui melalui spanduk-spanduk besar yang ada di sekeliling Muzdalifah.
HARI RAYA KURBAN
Beberapa amalan pada hari Raya Kurban adalah:
  1. Melempar jumrah aqabah.
  2. Menyembelih hadyu (bagi orang yang melakukan haji tamattu' dan qiran).
  3. Mencukur (gundul) rambut kepala atau memendekkannya, tetapi mencukur (gundul) adalah lebih utama.
  4. Thawaf ifadhah dan sa'i untuk haji.
Peringatan Penting:
  1. Tertib di atas adalah sunnah, dan kalau tidak dikerjakan secara tertib juga tidak mengapa. Seperti orang yang mendahulukan thawaf daripada mencukur rambut, atau mendahulukan mencukur rambut dari-pada melempar jumrah, atau mendahulukan sa'i daripada thawaf, atau lainnya.
  2. Melempar jumrah aqabah adalah dengan tujuh batu kerikil dengan secara berurutan. Ia mengangkat tangannya dan mengucapkan takbir setiap kali melempar batu kerikil. Disunnahkan ia menghadap ke jumrah dan menjadikan Makkah berada di sebelah kirinya dan Mina berada di sebelah kanannya.
  3. Waktu melempar jumrah aqabah ba
    i mereka yang kuat (fisiknya) adalah dimulai dari setelah terbitnya matahari. Hal itu berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhu ia berkata:

    "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendahulukan kami anak-anak Bani Abdul Muththalib pada malam Muzdalifah dengan mengendarai keledai, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menepuk paha-paha kami seraya bersabda: "Wahai anak-anakku, jangan kalian melempar jumrah sehingga matahari terbit." (HR. Abu Daud , Shahih Sunan Abi Daud).
    Adapun para wanita dan mereka yang lemah maka dibolehkan melempar sejak kedatangan mereka di Mina pada akhir malam. Hal itu berdasarkan hadits Asma' radhiyallahu anha, dari Abdullah pelayan Asma' dari Asma':

    "Bahwasanya ia singgah pada malam perkumpulan di Muzdalifah, lalu ia berdiri menegakkan shalat, ia shalat sejenak kemudian bertanya, 'Wahai anakku, apakah bulan telah tenggelam?' 'Belum', jawabku. Ia lalu shalat sejenak kemudian bertanya, 'Apakah bulan telah tenggelam?' 'Sudah', jawabku. Ia berkata, 'Kalau begitu berangkatlah.' Maka kami berangkat dan pergi hingga ia melempar jumrah. Kemudian ia pulang dan shalat Shubuh di rumahnya. Maka kutanyakan padanya, 'Sungguh, kami tidak mengira kecuali bahwa kita telah melempar (jumrah) pada malam hari'. Ia menjawab, 'Wahai anakku, sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengizin-kannya untuk kaum wanita'." (Muttafaq Alaih).
  4. Waktu melempar jumrah aqabah berlanjut hingga zawal(waktu tergelincirnya matahari dari pertengahan langit,dan itulah waktu permulaan shalat zhuhur). Dan dibolehkan melempar setelahzawalmeskipun meskipun di malam hari, jika menemui kesulitan untuk melemparnya sebelum zawal.
  5. Jumrah aqabah, penampungan (batu kerikil)nya adalah separuh penampungan. Karena itu ia harus yakin bahwa batu-batu kerikilnya masuk ke dalam penampungan tsb., tetapi jika setelah itu tergelincir (keluar) maka tidak mengapa.
  6. Disunnahkan untuk segera menyembelih hadyu, mencukur rambut, thawaf dan sa'i, tetapi jika diakhirkan hingga setelah hari Raya Kurban maka tidak mengapa.
  7. Menyembelih hadyu adalah wajib bagi yang melakukan haji tamattu' dan qiran. Adapun yang melakukan haji ifrad maka tidak wajib menyembelih hadyu . Orang yang tidak bisa menyembelih hadyu diwajibkan puasa tiga hari pada waktu haji dan tujuh hari ketika mereka pulang kepada keluarganya.
    Penyembelihan itu tidak harus dilakukan di Mina, tetapi boleh dilakukan di Makkah atau tanah suci lainnya (Madinah, pen.). Dibolehkan pula bagi tujuh orang untuk berserikat dalam satu ekor unta atau sapi. Disunnahkan untuk menyembelih sendiri dengan tangannya, tetapi jika diwakilkan kepada yang lain maka hal itu dibolehkan.
    Disunnahkan pula untuk menelentangkan hadyu (sapi atau kambing) pada sisi kirinya dan menghadap-kannya ke kiblat, sedang telapak kaki (orang yang menyembelih) diletakkan di atas leher hewan tersebut. Adapun unta, maka disunnahkan ketika menyembelihnya dalam keadaan berdiri, tangan kirinya diikat serta dihadapkan ke kiblat.
    Ketika menyembelih, disyaratkan menyebut nama Allah, dan disunnahkan untuk menambahkannya dengan bacaan:

    "Dengan nama Allah, Allah Mahabesar, ya Allah, sesungguhnya ini adalah dariMu dan milikMu, ya Allah kabulkanlah (kurban) dari kami (ini)."
    Waktu penyembelihan masih terus berlangsung hingga tenggelamnya matahari dari akhir hari tasyriq, yaitu tanggal 13 Dzul Hijjah.
    Thawaf di Ka'bah adalah tujuh kali, sebagaimana thawaf ketika umrah, tetapi tidak dengan raml (jalan cepat) dan idhthiba' (menyelempangkan selen-dang). Lalu disunnahkan untuk melakukan shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim, jika hal itu memungkinkan. Jika tidak, maka boleh melakukan shalat di tempat mana saja dari Masjidil Haram.
  8. Sa'i antara Shafa dan Marwah adalah tujuh putaran, tata caranya sebagaimana yang ada pada sa'i untuk umrah. Adapun orang yang melakukan haji qiran dan ifrad maka cukup baginya sa'i yang pertama, jika mereka telah melakukan sa'i pada thawaf qudum.
  9. Mencukur harus mengenai semua rambut. Adapun bagi wanita, maka ia cukup menghimpun semua rambutnya lalu memotong ujungnya kira-kira seujung jari. Jika ujung rambutnya tidak sama pan-jangnya maka bisa dipotong dari setiap kepangan (genggaman) rambut.
  10. Jika seorang Haji telah melempar jumrah aqabah dan mencukur atau menggunting rambut maka ia telah tahallul awal. Artinya, boleh baginya melakukan segala sesuatu dari yang dilarang ketika ihram kecuali masalah wanita. Dan disunnahkan baginya untuk membersihkan diri dan memakai wangi-wangian sebelum thawaf.
    Kemudian, jika ia telah melempar, mencukur atau menggunting rambut, thawaf dan sa'i berarti ia telah tahallul tsani , yang dengan demikian dihalalkan baginya segala sesuatu hingga masalah wanita (hubungan suami isteri).
HARI-HARI TASYRIQ
  1. Wajib bermalam di Mina pada malam-malam hari tasyriq, yakni malam ke-11 dan ke-12 (bagi yang terburu-buru) serta malam ke-13 (bagi yang meng-akhirkan/tetap tinggal).
  2. Wajib melempar jumrah pada hari-hari tasyriq, caranya adalah sebagai berikut:
Setiap Haji melempar ketiga jumrah (ula, wustha, aqabah) pada setiap hari dari hari-hari tasyriq setelah tergelincirnya matahari. Yakni dengan tujuh batu kerikil secara berurutan untuk masing-masing jumrah, dan hendaknya ia bertakbir setiap kali melempar. Dengan demikian jumlah batu kerikil yang wajib ia lemparkan setiap harinya adalah 21 batu kerikil. (Ukuran batu kerikil tersebut lebih besar sedikit dari biji kacang).
Jama'ah haji memulai dengan melempar jumrah ula, yakni jumrah yang letaknya dekat masjid Al-Khaif, kemudian hendaknya ia maju ke sebelah kanan seraya berdiri dengan menghadap kiblat. Di sana hendaknya ia berdiri lama untuk berdo'a dengan mengangkat tangan. Lalu ia melempar jumrah wustha , kemudian mencari posisi di sebelah kiri dan berdiri menghadap kiblat. Di sana hendaknya ia berdiri lama untuk berdo'a seraya mengangkat tangan. Selanjutnya ia melempar jumrah aqabah dengan menghadap kepadanya serta menjadikan kota Makkah berada di sebelah kirinya dan Mina di sebelah kanannya. Di sana ia tidak berhenti (untuk berdo'a). Demikianlah, hal yang sama hendaknya ia lakukan pada tanggal 12 dan 13 Dzul Hijjah.
Peringatan:
  1. Adalah salah, membasuh batu-batu kerikil (sebelum melemparkannya), sebab yang demikian itu tidak ada keterangannya dari Nabi J, juga tidak dari para sahabatnya.
  2. Yang menjadi ukuran (benarnya lemparan) adalah jatuhnya batu kerikil ke dalam penampungan, dan bukan melempar tiang yang ada di tengah-tengah penampungan (batu kerikil).
  3. Waktu melempar jumrah adalah dimulai dari sejak tergelincirnya matahari hingga terbenamnya, tetapi tidak mengapa melemparnya hingga malam hari, jika hal itu memang diperlukan. Hal itu berdasar-kan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :

    "Penggembala melempar (jumrah) pada malam hari dan menggembala (ternaknya) di siang hari." (Hadits hasan, As-Silsilah Ash-Shahihah, 2477).
  4. Tidak boleh mewakilkan dalam melempar jumrah kecuali ketika dalam keadaan lemah (tak mampu) atau takut akan bahaya karena telah lanjut usia, sakit, masih kecil atau sejenisnya. Dan ketika mewakili, hendaknya ia melempar jumrah ula sebanyak tujuh kali untuk dirinya sendiri terlebih dahulu, lalu melemparkan untuk orang yang diwakilinya. Demikian pula hendaknya yang ia lakukan dalam jumrah wustha dan aqabah (jika mewakili orang lain).
    Adapun sebagian orang pada saat ini yang dengan mudahnya mewakilkan melempar jumrah adalah hal keliru. Orang yang takut berdesak-desakan dengan laki-laki dan perempuan maka hendaknya ia pergi melempar pada saat-saat yang sepi, misalnya ketika malam hari.
  5. Hendaknya melempar ketiga jumrah tersebut secara tertib, yakni shughra kemudian wustha lalu aqabah.
  6. Sungguh keliru orang yang mencaci dan men-cerca ketika melempar jumrah, atau melempar dengan sepatu, payung dan batu besar, serta kepercayaan sebagian orang bahwa setan diikat pada tiang yang ada di tengah penampungan batu kerikil.
  7. Bermalam yang wajib dilakukan di Mina adalah dengan tinggal di sana pada sebagian besar waktu malam. Misalnya, jika seluruh waktu malam adalah sebelas jam maka ia wajib tinggal di Mina lebih dari lima jam 30 menit.
  8. Diperbolehkan bagi orang yang tergesa-gesa untuk meninggalkan Mina pada tanggal 12 Dzul Hijjah, yakni setelah melempar jumrah dan hendaknya ia keluar dari Mina sebelum tenggelamnya matahari. Jika matahari telah tenggelam dan ia masih berada di Mina maka ia wajib bermalam dan melempar lagi keesokan harinya, kecuali jika ia telah bersiap-siap meninggalkan Mina lalu matahari tenggelam karena jalan macet atau sejenisnya maka ia dibolehkan tetap pergi dan hal itu tidak mengapa baginya.
TANGGAL 12 DZUL HIJJAH
  1. Jika Anda telah selesai melempar jumrah pada tanggal 12 Dzul Hijjah, lalu Anda ingin bersegera maka Anda dibolehkan keluar dari Mina sebelum matahari tenggelam, tetapi jika Anda ingin tetap tinggal maka hal itu lebih utama. Bermalamlah (sehari lagi) di Mina pada tanggal 13 Dzul Hijjah, dan lemparlah ketiga jumrah (ula, wustha, aqabah ) setelah tergelincir-nya matahari dan sebelum matahari tenggelam, sebab hari-hari tasyriq berakhir dengan tenggelamnya matahari.
  2. Jika matahari telah tenggelam pada tanggal 12 Dzul Hijjah (hari kedua dari hari-hari tasyriq) dan Anda masih berada di Mina maka Anda wajib bermalam kembali di Mina pada malam itu kemudian melempar jumrah keesokan harinya, kecuali jika Anda telah bersiap-siap berangkat, tetapi jalan macet misalnya sehingga matahari tenggelam maka Anda dibolehkan keluar dari Mina dan hal itu tidak mengapa bagi Anda.
  3. Ketika Anda hendak meninggalkan Makkah, Anda wajib melakukan thawaf wada' sebanyak tujuh kali putaran, setelahnya Anda disunnahkan shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim.
  4. Perempuan yang sedang haid atau nifas tidak diwajibkan melakukan thawaf wada'.
Dengan demikian selesailah pekerjaan-pekerjaan haji.
RINGKASAN RUKUN, WAJIB UMRAH DAN HAJI
Rukun umrah:
  1. Ihram (niat masuk atau memulai untuk beribadah).
  2. Thawaf.
  3. Sa'i.
Wajib umrah:
  1. Ihram dari miqat.
  2. Mencukur (gundul) rambut atau memendekkannya.
Rukun haji:
  1. Ihram.
  2. Wukuf di Arafah.
  3. Thawaf ifadhah.
  4. Sa'i.
Wajib haji:
  1. Ihram dari miqat.
  2. Wukuf di Arafah hingga tenggelamnya matahari bagi yang wukuf di siang hari.
  3. Bermalam di Muzdalifah.
  4. Bermalam pada malam-malam tasyriq di Mina.
  5. Melempar jumrah (jumrah aqabah pada waktu hari Raya Kurban, dan jumrah ula, wustha serta aqabah pada hari-hari tasyriq secara tertib).
  6. Mencukur (gundul) rambut atau memendekkannya.
  7. Menyembelih hadyu (bagi yang melakukan haji tamattu' dan qiran, tidak bagi yang melakukan haji ifrad).
  8. Thawaf wada'.
Peringatan:
Di muka telah disebutkan bahwa di antara wajib umrah dan haji adalah ihram dari miqat . Ketentuan ini adalah bagi mereka yang datang dari wilayah yang berada di belakang miqat. Adapun bagi yang datang dari sebelumnya maka ia berihram dari tempatnya, bahkan hingga penduduk Makkah, mereka berihram dari Makkah, kecuali dalam umrah. Orang yang berada di Makkah dan hendak melakukan umrah maka ia keluar dari Makkah (tanah haram) kemudian berihram dari tempat tersebut.
PERTANYAAN-PERTANYAAN PENTING
YANG BANYAK DITANYAKAN ORANG
  1. Apa hukum orang yang memakai wangi-wangian atau menutup kepalanya atau mengenakan pakaian berjahit atau mencabut rambutnya karena lupa atau tidak mengerti (hukumnya) sedang dia dalam keadaan ihram?

    Barangsiapa melakukan suatu larangan dari larangan-larangan ihram karena lupa atau tidak mengerti (hukumnya) maka ia tidak diwajibkan apa-apa karenanya. Hal itu berdasarkan firman Allah:
    "Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah", Ibnu Abbas berkata, 'Ketika ayat ini turun, Allah berfirman, 'Aku telah melakukannya'." (HR. Muslim, no. 126).

     
  2. Apakah cukup dalam memendekkan (rambut), baik dalam haji maupun umrah dengan memendekkan bagian depan atau belakang kepala?

    Yang demikian itu tidak cukup. Ia wajib mencukur atau memendekkan rambut kepala secara menyeluruh. Hal itu berdasarkan firman Allah:
    "Dengan mencukur rambut kepala dan menggun-ting (memendekkannya)." (Al-Fath: 27).

     
  3. Bagaimana tata cara shalat jenazah?

    Tata cara shalat jenazah secara ringkas adalah bertakbir empat kali sedang ia dalam keadaan berdiri kemudian salam.
    Pada takbir pertama ia mengangkat kedua tangan-nya kemudian membaca Al-Fatihah, kemudian pada takbir kedua ia membaca shalawat atas Nabi n, dan pada takbir ketiga ia mendo'akan jenazah agar diampuni dan diberi rahmat, jika ia berdo'a dengan apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka hal itu lebih baik, lalu ia bertakbir untuk keempat kalinya dan mengucapkan salam ke sebelah kanannya.

     
  4. Bolehkah berlalu di hadapan orang yang sedang shalat di Masjidil Haram?

    Tidak diperbolehkan berlalu di hadapan orang yang sedang shalat, jika ia menjadi imam atau shalat sendirian. Adapun jika sebagai makmum, maka dibo-lehkan berlalu di hadapan mereka atau di antara shaf-shaf.

    Hendaknya orang yang akan shalat menghindari tempat-tempat berlalunya orang-orang di Masjidil Haram. Seyogyanya pula ia meletakkan pembatas di depan tempat shalatnya yang dekat dengannya, misalnya dinding, tiang, rak mushaf dan sejenisnya. Dengan demikian tidak berbahaya (berdosa) orang yang berlalu di belakang pembatasnya.

    Tidak ada bedanya antara Masjidil Haram dengan masjid-masjid lainnya dalam hal tersebut. Adapun hadits tentang "Berlalunya Para Sahabat Di Hadapan Nabi Saw Padahal Tidak Ada Pembatas Antara Beliau Dengan Ka'bah" maka sanad hadits ini adalah dha'if .(Lihat Fathul Bari, 1/687).