Pages

Selasa, 22 September 2015

HISAB DAN RU'YAH ADALAH SETALI TIGA UANG==IDHUL ADHA 2015


 Hasil gambar untuk hisab dan rukyat nu


HISAB DAN RU'YAH
ADALAH SETALI TIGA UANG
Hisab dan ru’yah seperti sekeping mata uang, tak bisa dipisahkan. Prosesi ru’yah akan cacat jika tidak ditunjang dengan data-data hisab. Sehingga dengan bantuan hisab, ru’yah akan lebih terfokus. Begitu juga hisab, validitasnya tak akan terbukti jika mengabaikan observasi langsung, karena hanya akan menjadi hipotesis tanpa bukti belaka. Karena itu, hisab dan ru’yah tidak bisa dipisahkan atau ditempatkan pada posisi yang berlawanan, apalagi dibandingkan mana yang lebih valid atau unggul. Pertentangan dua madzhab di atas timbul karena pemahaman yang berbeda atas arti hilal.
Dalam konsep penganut hisab, hilal adalah Bulan yang “posisinya sudah di atas ufuk” pada saat terbenamnya matahri dan setelah berlangsungnya ijtima’. Jadi Kriteria Wujudul Hilal dalam penentuan awal bulan Hijriyah menurut mereka adalah: “Jika setelah terjadi ijtimak (konjungsi), bulan terbenam setelah terbenamnya matahari maka malam itu ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian bulan saat matahari terbenam”. Walaupun ada sebagian kalangan ahli hisab yang mematok tinggi bulan sabit harus tidak kurang dari 2 derajat di atas horizon setelah terjadinya ijtimak dan terbenamnya matahari.
Sedang Hilal dalam konsep penganut Ru’yah adalah Bulan sabit yang “dilihat pertama kali” sesaat setelah terbenamnya matahari paska ijtima’. Jadi dalam pandangan penganut ru’yah, Hilal dianggap dapat terlihat dan malamnya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut:
1. Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang dari 2°, dan
2. Jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi/lintang) tidak kurang dari 3°. Atau
3. Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 jam selepas ijtima’ berlaku.
Perbedaan dalam memahami arti hilal inilah yang sampai saat ini menyebabkan sering terjadinya dua atau lebih awal Puasa, Idul Fitri, dan Idul Adha, di samping persoalan sosial lainnya seperti revalitas dan fanatisme. Jika saja pemahaman hilal sudah disepakati bersama oleh dua madzhab ini, maka harapan umat Islam Indonesia untuk melaksanakan ibadah puasa dan merayakan dua hari raya secara bersama-sama dan dalam keadaan lebih tenang akan terwujud dengan lebar.
MASYARAKAT AWAM HARAP MENGIKUTI PEMERINTAH
Masalah perbedaan dalam penentuan awal bulan hijiriyah tentu membingungkan banyak orang, terutama orang awam yang tidak tahu-menahu tentang seluk-beluk tata cara penentuan tersebut, diperparah lagi oleh sikap fanatisme yang kadang sampai pada titik mencemooh satu sama lain. Karena hal tersebut, sikap yang pantas diambil oleh kebanyakan masyarakat umum (awam) adalah mengikuti maklumat yang ditetapkan oleh pemerintah yang diwakili oleh Departemen Agama. Karena sikap ini lebih maslahat untuk merekatkan persaudaraan antar sesama, juga merupakan cerminan atas wahyu Allah SWT. surat An-Nisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

0 komentar:

Posting Komentar