Muhammadiyah dan qasidah burdah
Sebelumnya banyak pihak yang
menyerang bahkan mencaci pernyataan KH Said Aqil Siraj bahwa berjenggot
dapat mengurangi kecerdasan.
Para ulama terdahulu juga
mengingatkan bahwa “barangsiapa yang berlebihan panjang jenggotnya
hingga ke pusar maka (hal tersebut) menunjukkan sedikitnya kecerdasan
padanya” sebagaimana contoh kajian pada http://www.ngaji.web.id/…/antara-jenggot-sunnah-dan-kecerda…
Di dalam kitab Taurat juga dikatakan “barangsiapa yang berlebihan
panjang jenggotnya, maka sedikit otaknya, barangsiapa yang sedikit
otaknya, sedikit kecerdasannya, dan barangsiapa yang sedikit
kecerdasannya, maka orang tersebut adalah orang yang tolol (pandir)”.
Jadi tidak ada yang salah dengan pernyataan KH Said Aqil Siradj bahwa
“jenggot dapat mengurangi kecerdasan” yakni “semakin panjang semakin
goblok” dan beliaupun tidak mengatakan orang berjenggot goblok dan tidak
juga mencontohkan atau menuding siapapun yang berlebihan panjang
jenggotnya hingga ke pusar.
Oleh karenanya para ulama dari empat mazhab telah sepakat untuk tidak membiarkannya melebihi satu genggam.
Kalau kita lihat video secara utuh, maka pernyataan KH Said Aqil Siraj
bahwa “semakin panjang jenggot semakin goblok” adalah sebuah nasehat
bagi mereka yang mengamalkan sunnah Rasulullah memelihara jenggot namun
tidak menjadikannya seperti Rasulullah atau tidak menjadikannya cerdas
(fathonah) sehingga mereka bersikap radikal karena salah memahami Al
Qur’an dan As Sunnah
Begitupula para Sahabat juga mempertanyakan
jenggot orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani
Tamim yang terkenal gigih menjalankan sunnah Rasulullah namun tidak
menjadikan mereka seperti Rasulullah atau tidak menjadikan mereka
berakhlak baik sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/…/15/jenggot-dan-goblok/
Kali ini yang menjadi polemik adalah KH Said Aqil Siraj mengeluarkan
kata “goblok” yang ditujukan kepada ormas Muhammadiyah sebagaimana video
yang diunggah (upload) pada http://www.youtube.com/watch?v=KtyTqyxvdzc dan yang mengunggah menggunakan ID “nu garis lurus”.
Video yang diunggah pada 14 September 2015 tampaknya ingin memecah
belah kaum muslim dan khususnya ormas NU karena video tersebut adalah
video yang “dicari-cari” dan diberi judul vol 2 namun tidak ada
kaitannya dengan pernyataan “semakin panjang semakin goblok” karena
pernyataan “vol 2” tersebut dinyatakan 20 Oktober 2009.
Polemik kali ini jika disalahpahami dan tidak menahan diri akan menimbulkan perselisihan di antara kedua ormas.
Hal yang harus kita ingat selalu bahwa jika terjadi permusuhan di
antara kaum muslim maka perlu kita waspadai hasutan atau ghazwul fikri
(perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi karena Allah Azza
wa Jalla menciptakan kaum yang mempunyai rasa permusuhan terhadap kaum
muslim adalah kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis
Yahudi
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“orang-orang yang
paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang
Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)
Salah satu protokol Zionis yakni yang ketujuhbelas berbunyi,
…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para
ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka
menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius
menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang
dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama
telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama
itu akan bertumbangan…..
Serangan terhadap ketua umum PBNU KH
Said Aqil Siraj adalah termasuk upaya mendiskreditkan ulama karena ormas
NU adalah salah satu jama’ah minal muslimin yang istiqomah mengikuti
Rasulullah dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Kutipan
pernyataan Beliau tersebut terkait dengan pelarangan atau pengharaman
Qasidah Burdah yang dimotori oleh firqah Wahabi yakni orang-orang yang
mengikuti ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang
mengangkat kembali pemahaman Ibnu Taimiyyah sebelum bertobat.
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pengikut yang tidak pernah bertemu muka
yakni mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandarkan mutholaah
(menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya
sendiri karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih
Berikut kutipan informasi dari situs resmi mereka seperti pada http://www.saudiembassy.net/…/saudi_arabia_Islam_heartland.…
“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad
bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of
the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to
the original and undefiled form of Islam”.
Penamaan firqah Wahabi
dinisbatkan kepada nama ayahnya Muhammad bin Abdul Wahhab adalah
sekedar untuk membedakan antara ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul
Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah dengan ajaran Nabi
Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Contoh
penisbatan bukan pada nama sendiri lainnya adalah seperti pendapat Imam
Ahmad bin Hanbal, kita sepakati dinamakan sebagai mazhab Hambali karena
hal itu adalah hasil ijtihad dan istinbat beliau dalam perkara fiqih
berdasarkan sumber ijtihad yang dimilikinya seperti hafalan hadits yang
melebihi jumlah hadits yang telah dibukukan pada zaman kini dan
kompetensinya dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah yang diakui oleh
jumhur ulama sebagai salah satu Imam Mujtahid Mutlak
Mereka
adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang
dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis
Yahudi
Contoh penghasut pada masa keruntuhan kekhalifahan Turki
Ustmani adalah seperti Thomas Edward Lawrence, perwira Yahudi Inggris
yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian, selain
menghasut untuk membiasakan umat Islam disegi kemajuan dunia seperti
kebiasaan barat, termasuk nasionalisme Arab dan Sekulerisme, ia juga
menyebarkan hasutan supaya umat Islam tidak terikat dan tidak fanatik
kepada aliran mazhabiah.
Hasil hasutan Laurens Of Arabian adalah
mereka meninggalkan para ulama yang mengikuti Rasulullah dengan
mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Sehingga kaum muslim mengajukan permohonan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz sebagaimana yang dikabarkan pada http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,3…
***** awal kutipan *****
Sejak Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi, menaklukkan Hijaz
(Mekkah dan Madinah) tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di
tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan mazhabnya, bahkan
tidak sedikit para ulama yang dibunuh.
Saat itu terjadi eksodus
besar-besaran para ulama dari seluruh dunia yang berkumpul di Haramain,
mereka pindaha atau pulang ke negara masing-masing, termasuk para santri
asal Indonesia.
Dengan alasan untuk menjaga kemurnian agama dari
musyrik dan bid’ah, berbagai tempat bersejarah, baik rumah Nabi
Muhammad dan sahabat termasuk makam Nabi hendak dibongkar.
Dalam
kondisi seperti itu umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah wal
Jamaah merasa sangat perihatin kemudian mengirimkan utusan menemui Raja
Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian disebut dengan Komite Merembuk
Hijaz atau Komite Hijaz.
Komite bertugas menyampaikan lima permohonan:
Pertama, Memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz
pada salah satu dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali. Atas dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan
giliran antara imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya
tidak dilarang pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab
tersebut di bidang tasawuf, aqoid maupun fikih ke dalam negeri Hijaz,
seperti karangan Imam Ghazali, imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha
terkenal kebenarannya. Hal tersebut tidak lain adalah semata-mata untuk
memperkuat hubungan dan persaudaraan umat Islam yang bermazhab sehingga
umat Islam menjadi sebagi tubuh yang satu, sebab umat Muhammad tidak
akan bersatu dalam kesesatan.
***** akhir kutipan *****
Setelah awal abad ke 20 tidaklah terdengar lagi mufti-mufti mazhab di
wilayah kerajaan dinasti Saudi karena mereka termakan hasutan atau
ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau
yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi
Ulama besar
Indonesia yang pernah menjadi mufti Mazhab Syafi’i sekaligus menjadi
imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20 adalah Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Beliau
memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di sana menjadi
guru para ulama Indonesia.
Mereka bukanlah Hanabila atau bukanlah
pengikut Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang disangkakan oleh orang
awam sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/09/18/bukanlah-hanabila/
Dr Deliar Noer dalam bukunya berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia
1900 – 1942 menyebutkan, Ibnu Sa’ud yang berhasil mengusir penguasa
Makah sebelumnya, yakni Syarif Husein pada tahun 1924, mulai melakukan
pembersihan dalam kebiasaan praktik beragama sesuai dengan ajaran
Muhammad bin Abdul Wahhab atau ajaran Wahabi.
Ketika ada undangan
dari Ibnu Sa’ud pada kalangan Islam di Indonesia untuk menghadiri
kongres di Makah, langsung mendapat reaksi dengan dibicarakan undangan
tersebut di Kongres ke-4 Al-Islam di Yogyakarta (Agustus 1925) serta
Kongres Ke-5 di Bandung (Februari 1926).
Kedua kongres itu
didominasi golongan yang dinamakan pembaru Islam yang arti sebenarnya
adalah pemahaman baru yang tidak mengikuti metode pemahaman dan
istinbath yang telah dibakukan dan dicontohkan oleh Imam Mazhab yang
empat
Pada kongres di Bandung, KH Abdul Wahab Chasbullah atas
nama ulama kalangan kaum tua mengusulkan mempertahankan beragama
istiqomah mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana yang telah
disampaikan oleh para pengikutnya berikut dengan kebiasan-kebiasaan yang
telah dilakukan oleh mereka. Kongres di Bandung itu ternyata tidak
menyambut baik usulan tersebut.
KH Abdul Wahab Chasbullah
selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat di kalangan ulama
kaum tua, dimulai dari Surabaya, kemudian Semarang, Pasuruan, Lasem,
dan Pati. Mereka sepakat mendirikan suatu panitia yang disebut ”Komite
Merembuk Hijaz”.
Oleh karena untuk mengirim utusan ini diperlukan
adanya organisasi yang formal, maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada
31 Januari 1926, yang secara formal mengirimkan delegasi ke Hijaz untuk
menemui Raja Ibnu Saud.
Dalam mengupayakan pertemuan dengan Raja
Ibnu Sa’ud, kedua utusan itu juga diminta hadir dengan perantaraan
Belanda di Jedah. Tetapi mereka tidak dapat berangkat karena terlambat
memesan tempat di kapal.
Sebagai gantinya, NU mengirimkan isi
keputusan rapat mereka kepada Raja Ibnu Sa’ud dengan tambahan
permintaan, agar isi keputusan itu dapat dimasukkan dalam undang-undang
Hijaz. Namun tidak ada jawaban atas permintaan itu.
Kemudian pada
27 Maret 1928, NU mengumumkan Abdul Wahab dan Ahmad Ghanaim al-Amir
pergi ke Makah. Keduanya sampai di Tanah Suci pada 27 April 1928, dan 13
Juni 1928 mereka diterima Raja.
Salah satu poin seruan pada Raja
Ibnu Sa’ud adalah “tidak mengganggu orang yang menjalankan wirid zikir
yang benar atau wirid membaca Dalail al-Khairat atau Burdah atau mengaji
kitab fiqh mazhab Syafi’i, seperti Tuhfah, Nihayah, Bajah.” sebagaimana
contoh informasi dari http://chaerolriezal.blogspot.co.id/…/nahdhatul-ulama-nu_12…
Keistiqomahan ormas NU untuk mengikuti Imam Mazhab yang empat terlukis
dalam lambang ormas NU, sebagaimana yang dikutip dari situs http://al-islamjenangan.blogspot.com/…/nahdlotul-ulama-rahm…
Dalam penjelasannya tentang makna lambang NU, KH Ridwan menguraikan
bahwa tali ini melambangkan agama sesuai dengan firman Allah
“Berpeganglah kepada tali Allah, dan jangan bercerai berai.” (Q.s. Ali
Imran: 103).
Posisi tali yang melingkari bumi melambangkan ukhuwah (persatuan) kaum muslimin seluruh dunia.
Untaian tali berjumlah 99 melambangkan asmaul husna.
Bintang sembilan melambangkan Wali Sanga.
Bintang besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
Empat bintang kecil di samping kiri dan kanan melambangkan Khulafa’ Ar-Rasyidin.
Empat bintang kecil di bagian bawah melambangkan madzahibul arba’ah (madzhab yang empat).
Ahlussunnah wal jamaah dalam bidang i’tiqod mengikuti imam Asy’ari.
Dalam bidang akhlak mengikuti ulama’-ulama’ tasawuf yang muktabaroh.
KH Ridwan menambahkan bahwa ormas NU didirikan untuk mengikuti sunnah
Rasulullah sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Thabari Ra yang
mengatakan; berkata kaum ulama’ bahwa jamaah adalah as-sawadul a’dzom
(mayoritas kaum muslimin).
Rasulullah telah mengingatkan bahwa
ketika masa bermunculan penyeru-penyeru menuju pintu jahannam yakni
menyeru untuk menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim
(as-sawad al a’zham) maka hendaklah selalu bersama jama’ah muslimin dan
imamnya, hindarilah seluruh firqah-firqah (kelompok-kelompok / sekte)
itu, sekalipun kita gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggut.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku
tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian
melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas
kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al
Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir,
ini adalah hadits Shohih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas
kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang
menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“.
(HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam
Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang
menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah
as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Mayoritas kaum muslim
pada masa generasi Salafush Sholeh adalah orang-orang mengikuti
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni para Sahabat, Tabi’in,
Tabi’ut Tabi’in
Sedangkan pada masa sekarang mayoritas kaum
muslim (as-sawad al a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti para
ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Memang ada mazhab selain
yang empat, namun pada masa sekarang sudah sulit ditemukan ulama yang
memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari imam mazhab selain yang empat
sehingga tidak mudah untuk menjadikannya tempat bertanya.
Sebagaimana pepatah mengatakan “malu bertanya sesat di jalan” maka
kesesatan dapat timbul dari keengganan untuk bertanya kepada orang-orang
yang dianugerahi karunia hikmah oleh Allah Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang penunjuk
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan
mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya
telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf
[7]:43)
Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Penunjuk para Tabi’in adalah
para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan
penunjuk kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat.
Umat Islam maupun sekelompok umat Islam seperti organisasi
kemasyarakatan (ormas) yang mengikuti Imam Mazhab yang empat tidaklah
dikatakan berfirqah.
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat
semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang),
sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash.
Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak
(relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh
jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya
berbeda.
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat
tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih)
dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang
mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan
“perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan
ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang
banyak.
“Jika ia benar mendapat dua pahala, jika salah hanya
mendapat satu pahala” hanyalah berlaku untuk ahli istidlal yang dipunyai
para fuqaha, yakni ulama yang faqih dalam menggali hukum dari Al Qur’an
dan As Sunnah.
Adapun orang yang bukan ahli istidlal lantas menghukumi, dia tidak dapat pahala. Ia justru berdosa karena bukan ahlinya.
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (12/13), Para ulama’ berkata : ” Telah
menjadi ijma’ bahwa hadits ini adalah untuk hakim yang alim dan ahli
hukum, jika keputusannya benar maka dia mendapat 2 (dua) pahala yaitu
pahala ijtihadnya dan pahala benarnya, jika salah maka dapat satu pahala
yaitu pahala ijtihadnya saja”
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahu
ta’ala berkata dalam menjelaskan hadits ini: “(Beliau) mengisyaratkan
bahwa tidaklah mesti – disaat ditolak hukumnya atau fatwanya lantaran
berijtihad lalu keliru – maka dia mendapat dosa dengan (kesalahan)
tersebut. Akan tetapi apabila dia telah mengerahkan kemampuannya, maka
ia mendapat pahala, jika (hukumnya) benar, maka digandakan pahalanya.
Namun apabila dia menetapkan hukum atau berfatwa dengan tanpa ilmu maka
dia mendapat dosa.” (Fathul Bari: 13/331)
Telah berkata
Al-Baghawiy rahimahullahu ta’ala : “Dan sabda beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits : ‘Apabila ia berijtihad kemudian keliru,
baginya satu pahala’; tidaklah dimaksud dengannya ia diberikan pahala
karena kekeliruan (yang ia lakukan). Namun ia diberikan pahala dalam
kesungguhannya (ijtihadnya) untuk mencari kebenaran, karena ijtihad
merupakan bagian dari ibadah. Dosa dalam kekeliruan itu ada jika ia
tidak bersungguh-sungguh dalam ijtihad. Dan ini ada pada diri orang yang
berkumpul padanya peralatan/sarana untuk berijtihad. Adapun orang yang
tidak berhak untuk berijtihad, maka ia termasuk orang yang telah
memperberat-berat/memaksakan diri sehingga tidak diberikan ‘udzur atas
kekeliruannya dalam memutuskan hukum. Bahkan, dikhawatirkan padanya
tertimpa dosa yang sangat besar.
Ibnul-Mundzir rahimahullahu
ta’ala berkata : “Seorang hakim yang keliru hanyalah diberi pahala jika
ia seorang yang ‘aalim terhadap metodologi ijtihad, lalu melakukan
ijtihad. Jika ia bukan seorang yang ‘aalim, tidak diberikan pahala”. Ia
berdalil dengan hadits tiga golongan qaadliy dimana padanya disebutkan
dua golongan yang masuk neraka: “Qaadliy (hakim) yang memutuskan perkara
bukan berdasarkan kebenaran, maka ia masuk neraka. Dan qaadliy (hakim)
yang memutuskan perkara dalam keadaan ia tidak mengetahui (ilmunya),
maka ia pun masuk neraka”.
Diriwayatkan dari Buraidah
radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda : ‘Hakim itu ada tiga golongan. Satu masuk surga dan dua masuk
neraka. Golongan yang masuk surga adalah orang yang mengetahui kebenaran
lalu memutuskan dengannya. Adapun orang yang mengetahui kebenaran namun
ia menyimpang darinya dalam hukum (ia tidak memutuskan dengannya) ,
maka ia masuk neraka. Dan orang yang memutuskan perkara dengan
kebodohan, maka ia juga masuk neraka” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud no.
3573, At-Tirmidziy no. 1322, Ibnu Maajah no. 2315, dan dishahihkan oleh
Al-Haakim)
Begitupula ahli hadits berbeda dengan para fuqaha.
Ahli hadits tidak berhak untuk bertindak sebagai fuqaha. Oleh
karenannya tidak ditemukan penisbatan nama mazhab kepada nama seorang
ahli hadits.
Ahli hadits hanyalah menerima dan menghafal hadits
dari ahli hadits sebelumnya kemudian mengumpulkan, meneliti dan
menyampaikan dalam kitab-kitab hadits atau menyusunnya berdasarkan nama
perawi sehingga menjadi kitab-kitab musnad atau menyusunnya berdasarkan
klasifikasi masalah sehingga menjadi kitab-kitab sunan.
Pada masa
sekarang bermunculan orang-orang yang mengaku-ngaku atau dinisbatkan
sebagai ahli hadits namun bukan ahli hadits sebenarnya (yang menerima
dan menghafal hadits dari ahli hadits sebelumnya) melainkan ahli membaca
hadits-hadits yang telah terbukukan di balik perpustakaan alias
otodidak (shahafi).
Ada pula mereka yang terhasut meninggalkan
Imam Mazhab yang empat dan lebih memilih mengikuti orang-orang yang
mengaku berada di atas manhaj (mazhab) Salaf sebagaimana contoh tulisan
mereka pada http://almanhaj.or.id/…/0/antara-ahlus-sunnah-dan-salafiyah/
***** awal kutipan *****
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka
perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk
orang-orang yang menampakkan madzab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan
hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena mazhab salaf
itu pasti benar [Majmu Fatawa 4/149]
***** akhir kutipan *****
Begitupula dalam jawaban Raja Ibnu Sa’ud berupa surat terhadap seruan
Komite merembuk Hijaz mereka mengaku mengikuti mazhab Salafush Sholeh.
Istilah mazhab (manhaj) Salaf adalah keliru karena penisbatan nama
mazhab kepada nama perorangan bukan pada suatu kelompok atau nama
generasi
Penisbatan nama mazhab adalah kepada fuqaha (ahli fiqih)
atau ahli istidlal yang telah meraih kompetensi sebagai Mujtahid Mutlak
atau Mufti Mustaqil
Nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in
tercantum pada hadits, pada umumnya sebagai perawi bukanlah menyampaikan
pemahaman atau hasil ijtihad dan istinbat mereka.
Para perawi sekedar mengulangi kembali apa yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengelokkan rupa
orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia menghafalnya-dalam lafadz
riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya- kemudian dia
menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang orang yang membawa ilmu
agama (hadits) menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya,dan
terkadang orang yang membawa ilmu agama (hadits) tidak memahaminya”
(Hadits ShahihRiwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi,
Ahmad, Ibnu Hibban,at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir, dan imam-imam
lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang
sekedar menghafal dan menyampaikan saja tanpa memahami hadits yang
dihafal dan disampaikannya.
Jadi pendapat atau pemahaman Salafush Sholeh tidak bisa didapatkan dari membaca hadits.
Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab berkata “dan tidak boleh
bagi orang awam bermazhab dengan mazhab salah seorang dari pada
imam-imam di kalangan para Sahabat radhiallahu ‘anhum dan selain mereka
daripada generasi awal,walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi
darajatnya dibandingkan dengan (ulama’) selepas mereka; hal ini karena
mereka tidak meluangkan waktu sepenuhnya untuk mengarang (menyusun) ilmu
dan meletakkan prinsip-prinsip asas/dasar dan furu’/cabangnya. Tidak
ada salah seorang daripada mereka (para Sahabat) sebuah mazhab yang
dianalisa dan diakui. Sedangkan para ulama yang datang setelah mereka
(para Sahabat) merupakan pendukung mazhab para Sahabat dan Tabien dan
kemudian melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya
perkara tersebut; dan bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas/dasar dan
furu’/cabang ilmu seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan
selain dari mereka berdua.
Dari penjelasan Imam Nawawi di atas
dapat kita pahami bahwa Imam Mazhab yang empat yang menyusun ilmu dan
meletakkan prinsip-prinsip dasar ( asas) beserta cabangnya (furu) yang
akan diikut umat Islam sampai akhir zaman.
Mereka yang mengaku
berada di atas manhaj (mazhab) Salaf juga mengatakan bahwa mereka
mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun pada kenyataannya tentu mereka
tidak bertemu dengan Salafush Sholeh untuk mendapatkan pemahaman
Salafush Sholeh
Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa ketika
orang membaca hadits maka itu adalah pemahaman orang itu sendiri
terhadap hadits yang dibacanya, bukan pendapat atau permahaman Salafush
Sholeh.
Mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits yang mereka baca.
Apa yang mereka katakan tentang hadits tersebut, pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri.
Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahwa apa yang mereka ketahui dan sampaikan adalah pemahaman Salafush Sholeh
Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar
dan terlebih lagi mereka tidak dikenal berkompetensi sebagai Imam
Mujtahid Mutlak.
Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah,
mereka atas namakan kepada Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad mereka
salah, inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh.
Selain fitnah terhadap Salafush Sholeh karena salah memahami Al Qur’an
dan As Sunnah akibat mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafI),
mereka dapat terjerumus memfitnah Allah dan RasulNya dengan mereka
mengatakan bahwa Allah Ta’ala telah berfirman seperti ini, seperti ini,
Rasulullah telah bersabda seperti ini, seperti ini namun menurut akal
pikiran mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan
pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/janganlah-memfitnah-tu…/
Jadi pada kenyataannya orang-orang yang mengaku berada di atas manhaj
(mazhab) Salaf maupun pencetus istilah manhaj (mazhab) salaf adalah
orang-orang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi) sebagaimana
yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/07/istilah-mazhab-salaf/
Sebagai dimaklumi, bahwa arti “salaf” adalah “orang yang terdahulu”. Orang yang terdahulu itu ada yang baik dan ada yang buruk.
Pada zaman Nabi, bukan saja yang ada itu orang Islam, tetapi ada juga
orang Yahudi, Nasrani. Singkatnya, di zaman dulu itu ada orang yang
shaleh dan ada pula orang yang taleh (bahasa Minang) atau talih (tidak
sholeh).
Oleh karenanya kita dianjurkan memperbanyak bergaul dengan orang shaleh dan mengurangi bergaul dengan orang talih.
Kalau kita dianjurkan mengikuti mazhab atau manhaj Salaf, dengan arti
mazhab atau manhaj orang yang terdahulu, maka itu berarti kita
dianjurkan bukan saja mengikuti orang-orang yang baik-baik tetapi juga
mengikuti orang yang jelek-jelek.
Bahkan batas waktu yang tegas
antara yang dinamai zaman Salaf dan zaman Khalaf tidak ada keterangan,
baik dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadits.
Apakah yang dinamakan
zaman Salaf itu 100 tahun, 200 tahun, 300 tahun, 400 tahun atau 500
tahun sesudah Nabi ? tidak ada keterangannya yang pasti.
Pada intinya tidak ada nubuat Rasulullah yang menyebutkan batas atau pembagian waktu Salaf dan Khalaf.
Dzul Khuwaishirah tokoh penduduk Najed dari bani Tamim juga termasuk
salaf karena bertemu dengan Rasulullah namun tidak mendengarkan dan
mengikuti Rasulullah melainkan mengikuti pemahaman atau akal pikirannya
sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/08/05/termasuk-salaf/
Salah dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah karena bukan ahli istidlal
akan menimbulkan perselisihan seperti permusuhan, kebencian, saling
membelakangi dan memutus hubungan sehingga timbullah firqah dalam Islam.
Perhatikanlah tulisan-tulisan mereka contohnya pada http://tukpencarialhaq.com/
maka akan dapat kita temukan bertebaran nama-nama firqah yang
masing-masing merasa paling benar seperti salafi jihadi, salafi haraki,
salafi Turotsi, salafi Yamani atau salafi Muqbil, salafi Rodja atau
salafi Halabi, salafi Sururi, salafi Quthbi atau salafi Ikhwani dan
firqah-firqah yang lain dengan nama pemimpinnya.
Contohnya
pengikut Ali Hasan Al Halabi dinamakan oleh salafi yang lain sebagai
Halabiyun sebagaimana contoh publikasi mereka pada http://tukpencarialhaq.com/…/demi-halabiyun-rodja-asatidza…/ berikut kutipannya
***** awal kutipan *****
Kita lanjutkan sedikit pemaparan bukti dari kisah Haris, Jafar Salih dkk.
Cileungsi termasuk daerah terpapar virus Halabiyun Rodja pada ring pertama.
Tak heran jika kepedulian asatidzah begitu besar terhadap front terdepan (disamping daerah Jakarta tentunya).
Daurah-daurah begitu intensif dilaksanakan, jazahumullahu khaira.
Kemarahan mereka telah kita saksikan bersama dan faktanya,
amarah/ketidaksukaan ini juga mengalir deras pada sebagian dai yang
menisbahkan diri dan dakwahnya sebarisan dengan kita.
Berdusta
(atas nama Asy Syaikh Muqbil rahimahullah-pun) dilakukan, menjuluki
sebagai Ashhabul Manhaj sebagaimana yang dilontarkan dengan penuh
semangat oleh Muhammad Barmim, berupaya mengebiri pembicaraan terkait
kelompok-kelompok menyimpang sampaipun Sofyan Ruray mengumumkan melalui
akun facebooknya keputusan seperempat jam saja!!
****** akhir kutipan ******
Asy-Syathibi mengatakan bahwa orang-orang yang berbeda pendapat atau
pemahaman sehingga menimbulkan perselisihan seperti permusuhan,
kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan. maka mereka menjadi
firqah-firqah dalam Islam sebagaimana yang Beliau sampaikan dalam
kitabnya, al-I’tisham yang kami arsip pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/11/27/ciri-aliran-sesat/
****** awal kutipan *****
Salah satu tanda aliran atau firqoh sesat adalah terjadinya perpecahan
di antara mereka. Hal tersebut seperti telah diingatkan dalam firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan
yang jelas kepada mereka”, (QS. 3 : 105).
“Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat”, (QS. 5 : 64).
Dalam hadits shahih, melalui Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha pada
kamu tiga perkara dan membenci tiga perkara. Allah ridha kamu
menyembah-Nya dan janganlah kamu mempersekutukannya, kamu berpegang
dengan tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai…”
Kemudian Asy-Syathibi mengutip pernyataan sebagian ulama, bahwa para
sahabat banyak yang berbeda pendapat sepeninggal Nabi shallallahu alaihi
wasallam, tetapi mereka tidak bercerai berai. Karena perbedaan mereka
berkaitan dengan hal-hal yang masuk dalam konteks ijtihad dan istinbath
dari al-Qur’an dan Sunnah dalam hukum-hukum yang tidak mereka temukan
nash-nya.
Jadi, setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu
orang-orang berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan perbedaan itu
tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami
meyakini bahwa persoalan tersebut masuk dalam koridor Islam.
Sedangkan setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu menyebabkan
permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan, maka
hal itu kami yakini bukan termasuk urusan agama.
Persoalan
tersebut berarti termasuk yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dalam menafsirkan ayat berikut ini. Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah,
siapa yang dimaksud dalam ayat, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah
belah agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun
tanggung jawabmu terhadap mereka”, (QS. 6 : 159)?” ‘Aisyah menjawab:
“Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda: “Mereka adalah golongan yang mengikuti hawa nafsu,
ahli bid’ah dan aliran sesat dari umat ini.”
******* akhir kutipan *******
Jadi firqah atau sekte timbul ketika sebuah kelompok kaum muslim
(jama’ah minal muslimin) atau sebuah ormas menetapkan untuk mengikuti
pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut
terhadap Al Qur’an dan As Sunnah namun mereka tidak berkompetensi
sebagai ahli istidlal apalagi sebagai imam mujtahid mutlak
Prof.
Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah bukan
Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi
kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan sebuah sekte atau
firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan
sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa
sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan
mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Prof.Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan pada http://www.sangpencerah.com/…/profdr-yunahar-ilyas-lc-ma-in…
bahwa Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa hidupnya mengikuti fiqh mahzab
Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat
tarawih 23 rakaat.
Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih, ormas
Muhammadiyah tidak lagi mengikuti apa yang telah diteladani oleh
pendirinya Kyai Haji Ahmad Dahlan.
Bahkan salah satu pendukung
majelis tarjih mengatakan bahwa pakar-pakar ilmu hadits di Muhammadiyah
telah menunjukkan hadits-hadits yang meralat kesalahan KH Ahmad Dahlan
masa lalu. Kyai maupun Imam Mazhab yang empat bukanlah patokan namun
yang menjadi patokan adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sumber yang juga
dipakai oleh para imam-imam mazhab, terlebih imam-imam Mazhab tidak
mengikat dan tidak pernah menuntut pengikutnya untuk mengikutinya. Tidak
pernah ada keterangan dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak mengikuti
mazhab adalah sesat sebagaimana yang mereka uraikan panjang lebar pada http://kudapanule.wordpress.com/…/pelecehan-sejarah-dan-ta…/
Jadi dapat kita simpulkan bahwa berdasarkan pemahaman mereka terhadap
Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara
otodidak (shahafi) menurut akal pikiran mereka sendiri , mereka
menyalahkan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dan bahkan menganggap
kebiasaan-kebiasaan yang dahulu Beliau lakukan adalah kesesatan atau
bid’ah dholalah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya
sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat
kesalahan”. (HR. Ahmad)
Rasulullah telah bersabda bahwa salah
satu tanda akhir zaman adalah diambilnya ilmu agama dari al ashaaghir
yakni orang-orang yang mendalami ilmu agama secara otodidak (shahafi)
menurut akal pikiran mereka sendiri.
Telah menceritakan kepada
kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata :
Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan
kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak :
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah,
dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari
kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari
Al-Ashaaghir (orang-orang kecil / ulama yang baru belajar)”.
Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu
Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran
mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari
Al-Kabiir (orang yang tua / ulama senior / ulama sebelumnya), maka ia
bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.
Walaupun ulama panutan
mereka pada awalnya berguru dengan guru-guru yang memiliki sanad guru
(susunan guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah namun menjadi tidak
berarti apa-apa jika pada akhirnya mereka lebih banyak mendalami ilmu
agama di balik perpustakaan alias secara otodidak (shahafi) sebagaimana
yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/05/18/sanad-tak-berarti/
Janganlah mengambil pendapat atau ilmu agama dari ulama dlaif yakni
orang-orang yang kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan
mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran
mereka sendiri sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/05/31/ulama-dlaif/
Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai
ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui
kitab saja tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya
mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama
dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah
pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka
menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai
orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi
yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang
mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para
ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam
riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan
semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Boleh kita
menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut
ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita
harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak
berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir
QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam
bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir
Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Orang yang berguru tidak kepada guru
tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena
buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau
jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia
hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya
sendiri.
Jadi pengikut syaitan dapat diakibatkan karena salah
memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mengaku muslim namun pengikut
radikalisme dan terorisme.
Begitupula pengikut syaitan dapat
diakibatkan karena terhasut atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman)
yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan
Zionis Yahudi sehingga memusuhi umat Islam yang tidak sepaham
(sependapat) dengan mereka.
Kaum Yahudi atau yang kita kenal
sekarang dengan Zionis Yahudi atau disebut juga dengan freemason,
iluminati, lucifier adalah pengikuti syaitan
Firman Allah Ta’ala
yang artinya “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan
pada masa kerajaan Sulaiman” (QS Al Baqarah [2]:102)
Mereka yang
terhasut dan menjadi pengikut syaitan karena aqidah mereka yakni dalam
memahami apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala sifatkan untuk diriNya
dan apa yang telah disampaikan oleh lisan RasulNya selalu berpegang
pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir
sehingga terjerumus bertasyabuh dengan kaum Yahudi sebagaimana yang
telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2015/…/07/tauhid-trinitas/
Mereka yang terhasut dan menjadi pengikut syaitan karena gagal paham
tentang bid’ah sehingga mereka dapat terjerumus bertasyabbuh dengan kaum
Nasrani yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang
yang menganggap buruk sesuatu sehingga melarang yang tidak dilarangNya
atau mengharamkan yang tidak diharamkanNya dan sebaliknya menganggap
baik sesuatu sehingga mewajibkan yang tidak diwajibkanNya sehingga
mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah
sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/08/21/gagal-paham-bidah/
Begitupula mereka yang melarang atau mengharamkan qasidah burdah adalah mereka yang gagal paham tentang bid’ah.
Mereka yang melarang atau mengharamkan qasidah burdah karena menganggap
sebagai pujian berlebihan bagi Rasulullah adalah karena salah memahami
sabda Rasulullah, “Jangan memujiku secara berlebihan seperti kaum
Nasrani yang memuji Isa putera Maryam. Sesungguhnya aku adalah
hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari
dan Ahmad).
Hal ini timbul dikarenakan mereka mencoba memahami hadits secara sepotong-potong.
Kadang mereka memotong sebatas
“Jangan memujiku secara berlebihan ”
atau
“Jangan memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam”
Mereka tidak memperhatikan apa fungsi bagian akhir dari sabda
Rasulullah tersebut yakni “Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya, maka
ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Hadits tersebut sudah
secara jelas meberikan batasan pujian yang berlebihan yakni “seperti
kaum Nasrani yang memuji Isa putera Maryam” yang mempunyai makna majaz
(kiasan) yang maknanya adalah “seperti kaum Nasrani yang menjadikan Nabi
Isa a.s sebagai putera Tuhan”
Apa yang dilakukan oleh kaum
Nasrani diingkari dengan “Isa putera Maryam” dan “Sesungguhnya aku
adalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
Dan sejak larangan Nabi itu disampaikan hingga saat ini, tidak pernah
ada seorangpun dari kalangan umat Islam yang memuji Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam melebihi batasannya sebagai manusia.
Sehingga benarlah apa yang disampaikan Imam Bushiri di dalam syair Burdahnya:
“Tinggalkan pengakuan orang Nasrani atas Nabi mereka… Pujilah beliau
(shallallahu alaihi wasallam) sesukamu dengan sempurna… Sandarkanlah
segala kemuliaan untuk dirinya… Dan nisbahkanlah sesukamu segala
keagungan untuk kemuliaannya…”
Begitupula mereka menganggap syair
dalam qasidah burdah mengandung kemusyrikan serupa pula dengan mereka
menganggap kaum muslim yang mengamalkan sholawat Nariyah akan bertempat
di Neraka karena pemahaman tauhid mereka adalah tauhid ala firqah
Wahabi.
Terkait sholawat Nariyah, mereka mengatakan bahwa
“Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al Karim dan
diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang
berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati, menyingkirkan
kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan
permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang
muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan
kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang diserunya adalah
malaikat utusan atau Nabi yang dekat (dengan Allah)”
Tampaknya mereka memahami secara dzahir atau dengan makna dzahir terhadap kalimat yang artinya,
“yang dengan beliau terurai segala ikatan, hilang segala kesedihan,
dipenuhi segala kebutuhan, dicapai segala keinginan dan kesudahan yang
baik”
Kalimat tersebut seharusnya dipahami dengan makna majaz
(makna metaforis , makna kiasan) bahwa Beliau shallallahu alaihi
wasallam pembawa Al Qur’an, pembawa hidayah, pembawa risalah, yang
dengan itu semualah terurai segala ikatan dosa dan sihir, hilang segala
kesedihan yaitu dengan sakinah, khusyu dan selamat dari siksa neraka,
dipenuhi segala kebutuhan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dicapai segala
keinginan dan kesudahan yang baik yaitu husnul khatimah dan sorga,
Ini adalah kiasan saja dari sastra balaghah Arab dari cinta,
sebagaimana pujian Abbas bin Abdulmuttalib ra kepada Nabi shallallahu
alaihi wasallam dihadapan Beliau shallallahu alaihi wasallam :
“…
dan engkau (wahai Nabi shallallahu aalaihi wasallam) saat hari
kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan
langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu
dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya”
(Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417), tentunya bumi dan langit
tidak bercahaya terang yang terlihat mata, namun kiasan tentang
kebangkitan risalah.
Sebagaimana ucapan Abu Hurairah ra : “Wahai
Rasulullah, bila kami dihadapanmu maka jiwa kami khusyu” (shahih Ibn
Hibban hadits no.7387), “Wahai Rasulullah, bila kami melihat wajahmu
maka jiwa kami khusyu” (Musnad Ahmad hadits no.8030)
Semua orang
yang mengerti bahasa arab memahami ini, Cuma kalau mereka tak faham
bahasa maka langsung memvonis musyrik, tentunya dari dangkalnya
pemahaman atas tauhid.
Demikianlah penjelasan ulama dari kalangan
ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yakni Habib Munzir Al Musawa yang
bersumber dari http://www.majelisrasulullah.org/…/keutamaan-shalawat-nari…/
Memang salah satu ciri khas mereka yang mengikuti ajaran atau pemahaman
Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengangkat kembali pemahaman Ibnu
Taimiyyah sebelum bertobat adalah dalam memahami apa yang telah Allah
Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu berpegang pada nash secara dzahir
atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir
Ibnu Taimiyah dan
muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah mengingkari keberadaan makna majaz
(makna metaforis), baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab. Bahkan
Ibnul Qayim Al Jauziyah mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang
ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena dengan adanya majaz, akan
membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan
makna yang menyimpang sebagaimana penjelasan pada http://hanifnurfauzi.wordpress.com/…/belajar-ushul-fiqh-ma…/
Ulama Hanbali yang ternama, Al-Imam al-Hafizh al Alamah AbulFaraj
Abdurrahman bin Ali bin al-Jawzi as- Shiddiqi al-Bakri atau yang lebih
dikenal dengan Ibn al Jawzi dalam kitab berjudul Daf’u syubahat-tasybih
bi-akaffi at-tanzih contoh terjemahannya pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/…/dafu-syubah-imam-… menjelaskan bahwa,
“sesungguhnya dasar teks-teks itu harus dipahami dalam makna lahirnya
(makna dzahir) jika itu dimungkinkan, namun jika ada tuntutan takwil
maka berarti teks tersebut bukan dalam dzahirnya tetapi dalam makna
majaz (metaforis)”
Kebutuhan takwil dengan ilmu balaghah seperti
makna majaz timbul contohnya jika dipahami dengan makna dzahir akan
mensifatkan Allah dengan sifat yang tidak layak atau tidak patut
bagiNya.
Jadi mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat menolak
takwil dengan ilmu balaghah dapat termasuk orang-orang yang
berpendapat, berfatwa, beraqidah (beri’tiqod) tanpa ilmu sehingga akan
sesat dan menyesatkan
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin
Abu Uwais berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin
‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya
Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan
tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila
sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari
kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa
ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Jadi
kesimpulannya orang-orang yang sesat dan menyesatkan dapat dikarenakan
kurang mendalami atau bahkan melarang (mengharamkan) mendalami ilmu
balaghah.
Gagal paham tentang bid’ah dapat pula disebabkan karena
kurang mendalami ilmu balaghah sebagaimana yang telah diuraikan dalam
tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/…/27/bidah-dan-balaghah/
Oleh karenanya lebih baik mensyaratkan bagi pondok pesantren, majelis
tafsir, ormas-ormas yang mengaku Islam, lembaga kajian Islam maupun
lembaga-lembaga Islam lainnya termasuk lembaga Bahtsul Masail untuk
dapat memahami dan beristinbat (menetapkan hukum perkara) dalam
implementasi agama dan menghadapi permasalahan kehidupan dunia sampai
akhir zaman yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, wajib menguasai
ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu
alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun
ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as
Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad
dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir,
ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum,
ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada
lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan
lain-lain sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/…/bacalah-dan-istinbath/
Wassalam
Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830
Tulisan selengkapnya dapat dibaca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/muhammadiyah-dan-qasid…/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar